Kalau gak bisa menepati,
tak perlu berjanji.•••
Seminggu ini, aku harus fokus belajar karena ujian kenaikan kelas akan dilaksanakan dua minggu lagi. Enggak terasa banget aku bakal naik ke kelas XII. Padahal kayak baru kemarin aku daftar di sekolah ini. Cepat banget.
Dan seminggu ini pula aku harus bisa menjauhkan diri dari ponsel. Itu artinya, aku akan mengabari Irwan tidak sesering hari biasanya.
Aku benar-benar tidak mau nilaiku turun seperti semester kemarin. Aku tidak mau diledek Widya lagi kalau Irwanlah yang membuat nilaiku anjlok.
"Hey!" sapaku saat wajah Irwan sudah terlihat di layar ponselku. Rambutnya basah terlihat berantakan tetapi memberi kesan kece, menggunakan baju berwarna hitam polos dan wajah yang berseri. Sepertinya dia baru mandi. Kadar kegantengannya bertambah berkali-kali lipat!
'Yaaa...' balasnya dari seberang sana.
"Ngapain?" tanyaku. Dia seperti sedang mengetik di keyboard laptop-nya.
‘Lagi lihat-lihat foto aja, kenapa? Kangen ya?' Dia meraih ponselnya yang tadi sepertinya ia letakkan. Lalu, tiduran. Ia menatapku seperti kami sedang bertemu saja.
"Pede gila. Baru juga ketemu," ujarku sambil ketawa. Dia juga ikut ketawa.
'Oh ya, ada waktu gak hari ini?' tanya Irwan. Aku menggeleng, aku benar-benar harus belajar. Ini saja, aku menyempatkan agar bisa video call. Lagipula, aku mau menjelaskan pada Irwan kalau aku akan jarang pegang hape untuk dua minggu ke depan.
"Aku mau belajar," ujarku tak menatapnya.
‘Oke deh. Besok ya, kita jalan, sekalian ajarin aku Fisika, Kimia, hehe.' Ajaknya lagi. Awalnya aku mau menolak juga, tetapi karena dia mau diajarin, aku mengiyakan saja.
"Tapi, belajar aja ya. Di rumahku."
'Cari mati itu namanya, Bin.' itu pasti karena aku menyuruh di rumahku. Padahal tidak apa-apa, biasa saja. Tak ada ular, singa, atau hewan buas lainnya di sini.
"Kami gak pelihara hewan buas kok Wan,"
'Serahmu, Bin. Tapi, aku bakal tetap datang besok. Terobos terus, siapa tahu dapat restu, hehe.' kata Irwan sambil tertawa. Aku juga ikut tertawa mendengar perkataannya.
"Oh iya gini, Wan, buat dua minggu ini aku bakal jarang pegang hape. Aku mau fokus belajar, kan minggu depan UKK. Aku gamau nurun lagi, kamu maklumin ya," kataku back to the topic.
‘Aku pikir kamu mau ngindarin aku. Kirain kenapa, ternyata mau belajar. Yaudah gapapa.' kata Irwan sambil tersenyum. Senyum itu selalu menjadi penenang.
"Kamu juga belajar, ya. Kalau ada yang gak paham, boleh tanya aku siapa tahu aku bisa bantu," kataku mengingatkan.
"Terus, jangan PDKT sama yang lain pas aku lagi offline. Pokoknya harus cuman aku yang ada di hati kamu," kataku posesif. Dia malah tertawa.
'Posesif ya?' katanya masih dengan gelak tawanya.
"Gak boleh?" tanyaku dengan wajah sok imut.
‘Ya boleh dong. Apa sih yang gak buat kamu.'
"Lebay, Irwan lebay ish," ledekku tapi aku senang mendengarnya.
‘Iya lebay, tapi tulus dari yang terdalam.’ Katanya membuat aku blushing. Dia selalu berhasil membuat aku senang dan hatiku berbunga-bunga.
"Wan mau nanya boleh?" kataku dengan wajah serius. Aku hampir saja lupa dengan satu tujuan terakhirku untuk mengajaknya video call.
'Ya, silahkan nona.'
"Tadi ngapain sama Chika pas aku lagi piket?" tanyaku mengingat kejadian pulang sekolah tadi, Irwan berbicara dengan Chika di lapangan basket. Berdua saja, berdua.
'Ya, ketahuan!' katanya dengan wajah yang tak bisa kuartikan sambil tepuk jidat lagi.
"Kamu ada hubungan sama dia Wan? Jahat!" kataku dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
‘Ya maaf, dia lebih menarik daripada kamu.' Ini Irwan? Irwan tak pernah berkata seperti ini padaku. Tapi, itu memang Irwan, ia tak punya kembaran.
"Oh, makasih." kataku lalu langsung memutuskan sambungan video-call itu.
Air mataku mulai bercucuran. Segampang itu aku menangis? Hanya karena cowok seperti Irwan? Bisakah sekarang aku mengatakan Irwan cowok brengsek? Aku benar-benar kecewa.
Irwan sendiri yang mengatakan tidak akan pernah mempunyai hubungan dengan Chika, tapi apa? Ah, dua kali pacarku direbut oleh gadis yang sama.
•••
Hingga langit menjadi gelap, ponselku masih berada di tempat yang sama seperti terakhir kali aku meletakkan setelah memutuskan sambungan video-call-ku dengan dia, dia yang berjanji tapi akhirnya diingkari juga.
Mataku sembab, tapi untungnya saja aku memiliki alasan yang kuat saat ditanya Ibu tadi. Aku mengatakan baru selesai membaca novel yang sad ending.
Aku tidak jadi belajar pada malam ini. Aku masih kecewa banget. Gimana gak kecewa? Orang yang kamu percaya, sayangi, eh ternyata ngingkarin janjinya.
Aku menjauhkan ponselku dari kasur. Aku meletakkannya di nakas dengan keadaan nonaktif. Aku segera berbaring lalu memeluk gulingku.
"Coy, kawanmu itu," kata Widya tiba-tiba masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk ataupun memanggil terlebih dahulu.
"Bilangin aku tidur. Malas ketemu Wid," kataku tanpa menanyakan siapa yang datang dan aku memang tidak peduli siapapun itu, mau Irwan kek!
"Si Di--"
"Bodoamat. Mau siapapun, bilangin aku lagi pergi kek, apa kek, aku lagi badmood super-super banget!" kataku sambil menarik selimutku hingga menutupi seluruh badanku.
"Yaudah!" kata Widya lalu pergi sambil menutup pintu kamarku dengan keras. Emosian banget.
Aku tidak mau teriak seperti biasanya karena tiba-tiba bayangan saat Chika dan Irwan di lapangan basket tadi kembali tergiang-giang di pikiranku. Saat mereka mengobrol, lalu Irwan menepuk pundak Chika pelan kemudian saat Chika memberikan sebuah paper bag pada Irwan setelah itu aku pergi karena aku tidak tahan lagi.
Chika memang sudah selesai dengan Devo, aku tidak tahu alasannya. Yang pasti, kata Devo mereka sudah selesai dan yang memutuskan adalah Chika.
Serba kebetulan. Entahlah, kepalaku tiba-tiba sakit. Aku memilih tidur dengan keadaan hati yang nyut-nyutan, mata yang sembab dan perasaan yang campur aduk.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Kok Romantis [COMPLETED]
Ficção Adolescente"Siapa bilang mantan itu harus musuhan? Buktinya aku dan dia tetap bisa kompak, pulang bareng, belajar bareng dan lainnya. Malahan kekompakan kami melebihi kalian yang taken." - Bin & Irwan #8 ROMANTIS : 14 November 2020