Suara sirine mobil polisi terdengar nyaring di jalanan. Biasanya jika ada suara sirine mobil polisi memiliki arti bahwa adanya penjahat di sekitar sana. Dan apa yang diperkirakan itu benar.
Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan yang sangat cepat melebihi kecepatan normal mobil itu. Di kursi penumpang mobil itu ada seseorang perempuan dengan masker penutup wajahnya yang keluar dari jendela sambil membawa sniper-nya bersiap untuk menembak banyaknya mobil polisi yang mengejar mereka.
DOR!
CKIIIT!
BRAAK!
Satu tembakan sukses mengenai salah satu ban mobil polisi itu membuat mobil itu terguling dan menabrak mobil polisi yg lain. Dan itu membuat keaadaan lalu lintas yang malam ini sedang ramai tersendat dan macet. Dan ini dijadikanlah kesempatan bagus bagi kawanan mafia itu untuk segera pergi menjauh dan kembali ke markas.
"Kerja bagus hari ini!" ucap seorang pria dewasa yang mungkin berusia dua puluh lima tahun itu yang sedang menyetir dikursi kemudi.
"Hal biasa. Sepuluh kasus yang pernah kita lakuin juga selalu sukses, 'kan?" ucap gadis itu sombong sambil membuka maskernya.
Dan terlihatlah disana wajah Lona yang cantik natural tanpa polesan make up dengan panjang pirangnya yang tergerai.
Dan inilah hari-hari yg biasa Lona jalani disaat malam hari. Dunia kriminal dan juga hal yang berbau dengan tugas gelap dari sang boss yang adalah ayah kandungnya sendiri.
"Hah!" Lona menghela nafas lelahnya sambil membuang sembarang sniper- nya sembarang ke belakang mobil. Wajahnya nampak lelah dan khawatir.
"Lo ngapa, Na?" tanyanya yang melihat keanehan pada Lona.
"Gue kadang ngerasa nyesel udah masuk dalam dunia kelam ini. Bunuh orang, mencuri, menculik dan segala macem yang berhubungan sama kriminalitas. Bukan ini yang gue mau dari masa muda gue." jelas Lona lalu mengeluarkan sebatang rokok, menghidupkanya lalu menyesapnya.
"Gue tau. Memang hidup jadi kriminalitas itu nggak mudah."
"Gue butuh kasih sayang dan perhatian dari orang tua gue satu-satunya di dunia ini. Tapi, apa yang gue dapet? Malah dunia yg gak bener. Gue juga mau sekali-kali ngerasain apa yang namanya cinta,"
"Gue capek sama hidup gue sendiri."
Toni, pria itu hanya menatap sendu Lona yang sedang merokok dari balik kaca spion mobil. Ia tau menjadi Lona tak mudah. Banyak hal yang harus ia lewati di masa mudanya ini. Tapi apa boleh buat jika inilah takdir yg harus ia jalani.
Mobil yang Toni bawa melewati sebuah hutan yang tak jauh dari pusat kota yang sempat mereka lewati. Hanya perlu waktu 15 menit untuk membelah jalanan malam di tengah hutan ini hingga mereka sampai di depan sebuah gerbang mansion yang megah dan pastinya sangat mewah.
Banyak keamanan yang berjaga di sana terlebih lagi kamera cctv yang ada dimana saja. Mobil yang Toni kendarai masuk ke dalam kediaman mansion itu.
Memarkirkan mobilnya lalu masuk ke dalam mansion diikuti dengan beberapa bodyguard yang membawa masing-masing tas berisi penuh uang hasil curian Lona dan Toni.
Tapi, Lona hanya berdiam diri di mobil. Meratapi nasibnya yang kelam dan gelap. Ia ingin sekali merasakan apa yg namanya kasmaran dan jatuh cinta. Wajarkan jika seorang mafia ingin merasakan jatuh cinta?
Mafia juga manusia. Memiliki perasaan dan juga hati.
"Gue juga mau ngerasain yg namanya punya pacar. Apa gue harus cari pacar sekarang sebagai pelarian saat gue tertekan?" monolog Lona.
"Gue jahat karna cuman manfaatin dia bukan karna cinta. Tapi gue butuh orang yang bisa perhatian sama gue."
Dan akhirnya Lona memilih untuk mengemudikan mobil yg ia tumpangi. Kunci mobil masih ada pada tempatnya, sengaja Toni membiarkannya karna ia tau Lona akan pergi keluar nanti untuk menenangkan diri.
Lona membawa mobilnya ke pusat kota dan berhenti di sebuah taman yang cukup jauh dari mansionnya. Biasanya ia akan pergi ke club atau diskotik untuk menenangkan diri tapi, sepertinya hatinya lebih ingin suasana yang damai.
Lona keluar dari mobilnya setelah memarkirnya. Ia memilih untuk duduk di sebuah bangku yang dekat dengan sungai kecil yang sepi. Pemandangan di sungai ini sangat indah dengan sinar bulan yang menyinari malam yang gelap.
"Ternyata pemandangan di taman ini lebih baik dari pada ke club yg cuman bisa buat ngabisin duit dan ngerusak badan pake minuman alkoholnya." monolog Lona sambil meminum minuman sodanya yang sempat ia ambil dari mobil.
Ada beberapa orang yang melintas melewatinya menatapnya dengan tatapan aneh dan juga mungkin ketakutan. Bagaimana orang tak akan takut jika Lona hanya mengenakan pakaian serba hitamnya dan juga topinya dengan bau rokok yg menguar dari tubuhnya membuat orang berfikir bahwa dia bukan orang yang baik-baik.
Lona masa bodo. Karna ia tak pernah peduli dengan apa yang orang lihat tentangnya. Terlebih lagi teman-temannya yang selalu berfikir negatif padanya. Ia tak peduli. Toh, Lona pikir dia bahkan tak punya teman.
Pandangan Lona berlari kemana-mana melihat seluruh sudut taman yang mulai sepi hingga ujung matanya melihat sosok cowok dengan sweater kebesaran menenteng tas ransel kecil di dadanya. Lona dengan jelas dapat melihat wajah cowok itu karena hanya berjarak beberapa langkah darinya dan penerangan di sini juga cukup terang.
Wajahnya manis dan pipinya gembul. Terlihat menggemaskan di mata Lona dan juga aneh. Dimana ada seorang cowok yang imut dengan tatapan lugu. Yang sering Lona lihat malah para lelaki bergaya berandal walau nyatanya lemah mental. Sering mengobrak-abrik hati wanita, walau nyatanya mereka seorang cupu. Itu terkadang membuat Lona tertawa terbahak. Lucu saja.
Kali ini, ia akan tertawa ketika melihat tingkah cowok itu yang semakin membuatnya terheran-heran dan juga tertarik dengannya, mungkin.
Cowok itu seperti kebingungan dengan pandangan polosnya. Dan tangannya selalu meremat ujung sweaternya, mungkin karena takut. Dan ia seperti anak yang kehilangan orang tua atau tersesat padahal sepertinya cowok itu seumuran dengan Lona.
"Aneh," gumam Lona sambil berjalan mendekat ke arah cowok tersebut. Hatinya mengatakan bahwa ia harus menemui cowok itu, dia hanya penasaran. Walaupun otaknya selalu bilang untuk tidak peduli tapi sepertinya Lona akan mengikuti hatinya. Lagipun cowok itu terlihat menarik di mata Lona.
"Siapa lo?" tanya Lona saat sampai di depan cowok manis itu.
Cowok itu terlonjak kaget karna sedari tadi ia melamun dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Heh, jawab!" ucap Lona lagi dengan sedikit membentak. Oke, ini kelewatan. Mereka padahal hanya orang asing. Lona malah membuat dirinya lebih terlihat seperti pemalak yang akan mencuri uang bocah kecil.
"Sagha takut. Anterin Sagha pulang hiks."
Terlalu tiba-tiba. Lona hanya belum siap untuk sebuah pelukan hangat dari cowok itu. Suara tangisannya mengusik telinga Lona. Tangan yang tenggelam di balik sweater besarnya memeluk gemetar tubuh Lona memberi sedikit sengatan aneh untuknya.
Entah, niatan dari mana Lona malah membalas pelukan itu sambil memberikan sebuah kata yang seharusnya tidak perlu repot-repot diucapkannya.
"Iya, nanti gue anterin. Inget alamat rumah nggak?"
Pelukan ini sangat nyaman dan Lona menginginkannya juga menyukainya. Sayangnya, gelengan pelan cowok itu membuatnya sebal seketika. Beruntung tatapan polos dan wajah lucu yang membuat batin Lona yang meronta itu menahan niatan tangannya untuk melayang menghantam pipi gembul itu.
"Anak siapa sih, lu?"
─tbc─
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILDISH (✓)
Romantik[END] Lona itu sejenis gadis nakal yang terlalu bebas. Oh bukan, dia bahkan menjadi bagian dari kelompok mafia. Dunia kriminal bahkan melingkupi hari-harinya. Takdir memang aneh ya bila membuatnya jatuh terpikat pada seorang lelaki lugu sejenis Sag...