"Rumah lo dimana?"
"Sagha nggak tau hiks!" isak cowok itu sambil memeluk erat tas ranselnya. Dia hanya terlalu takut tak bisa kembali pulang, di sini terlalu menyeramkan. Seakan-akan tersesat di dunia lain. Orang-orang itu mengerikan. Dia lagi-lagi, dengan gerakannya yang tak terduga memeluk kembali Lona yang selalu memasang wajah datarnya, walau diam-diam batinnya bahkan tersentak kaget.
Lona menatap cowok itu lekat. Perlahan tangannya mencengkram kedua pipi gembul itu, menarik wajah cowok itu untuk menatapnya. Kedua manik matanya bergetar ketika bersitatap dengan mata Lona yang memandang datar, sangat dingin. Dan Lona tau bahwa cowok manis di hadapannya ketakutan dengannya, tapi tetap saja dia bahkan dianggap satu-satunya juga orang baik yang bisa membantunya pulang. Lalu Lona mengusap air mata cowok asing di hadapannya yang lagi-lagi menetes dari mata ke pipi gembulnya.
"Heh, jangan nangis." ujar Lona sambil menampilkan senyum tipisnya, terlihat samar.
Tatapannya benar-benar lugu. Mirip dengan adiknya yang telah pergi sejak lama, Lona pikir. Dadanya terasa linu, lagi-lagi kenangan buruk memang akan terus menetap di kepalanya dan akan melintas tiba-tiba. Memberinya denyutan linu di dadanya dan rasa sesak.
Lona menghela nafasnya. Menarik tangannya turun dan mengusak lembut surai hitam cowok asing di hadapannya yang tampak mengerjap.
"Kenapa bisa disini malem-malem, hm?" tanya Lona sambil melempar pandangannya ke arah lain. Melihat ke sekelilingnya, asalkan bukan wajah orang asing yang sangat-sangat polos ini. Dadanya bahkan terasa aneh, linu dan brutal. Berdentum kuat disaat bersamaan.
"Gak tau arah pulang." cicitnya sambil menundukkan kepalanya dan meremas ujung sweaternya karna gugup dan takut.
"Kok bisa?"
"Tersesat."
Lona berdecak. Mana ada manusia sebesar itu bisa-bisanya tersesat? Berapa umurnya, sih? Dia bahkan seharusnya bisa pulang dengan sendirinya.
"Untung lucu, kalo nggak gue tebas lu," gumam Lona lirih sambil menatap cowok yang terduduk di bangku taman.
Cowok itu mengerjap, ikut menatap Lona yang tampak menatapnya lamat.
Mereka diam, terlalu sunyi dan hanya saling menatap. Lona terlalu terpaku pada binar lugu di mata cowok di hadapannya sekarang ini.
"Mata lo mirip seseorang," ujar Lona sambil tetap memandang matanya. Dia menarik sudut bibirnya, menyunggingkan seringai tipis di sana.
"Eum, beneran?"
Lona menghela nafasnya. "Sama-sama manis, tapi dia nggak cengeng," kata Lona lalu beranjak membuat cowok tersesat itu lantas mengikuti Lona yang berjalan semakin jauh.
"Dia siapa?" tanya cowok itu sambil mengenggam ujung pakaian Lona. Hanya merasa takut ditinggal dan lagi-lagi tersesat di tempat yang minim cahaya seperti ini.
"Manusia,"
"Sagha juga tau kalo dia pasti manusia," gerutu Sagha lirih sambil merenggut. “Terus dia kemana?” tambahnya lagi. Mungkin merasa penasaran dengan orang asing yang baik hati mau menemaninya beberapa saat tadi dan menaruh janji kecil untuk mengantarnya pulang.
"Di sana," Tangan Lona terangkat, menunjuk hamparan langit gelap yang dibubuhi bintang-bintang yang bersinar cantik. "Adek gue," ucap Lona melirih, kenapa juga dia tiba-tiba jadi melankolis seperti ini? Dia seharusnya tidak menangis di hadapan orang asing yang bahkan mungkin tidak tau apa-apa. Dia sungguh keterlaluan polosnya. Lona tebak.
"Kata Bunda kita bakal ketemu mereka dimimpi,"
Lona berbalik, menatap sepenuhnya pada cowok itu dan lagi-lagi mengusap surai hitamnya yang terasa lembut. Dia tersenyum gemas─dalam artian lain. "Ya, seharusnya gue nyusul mereka aja, tidur nggak bangun-bangun."
Lona tertawa sarkas. Segera menarik lengan cowok itu menuju mobilnya. Sudah hampir larut malam, mungkin sebaiknya dia dengan segera mengembalikan bocah hilang ini. Lupakan hal-hal ngawur yang dia ucapkan tadi. Ini rasanya menyebalkan ketika dadanya terasa sesak mengingat memori-memori lama yang terputar kembali. Lona bahkan tak berharap bisa mengenangnya kembali.
Suara-suara jeritan itu. Tangisan. Bahkan suara tembakan itu memenuhi rungunya. Lona meringis pelan dan membawa tangannya memijat pelipisnya. Sialan. Kenapa juga harus di hadapan cowok asing yang polos itu? Dia bahkan tak tau apa-apa.
"Ayo, buruan masuk mobil. Pulang," titah Lona sambil menarik lengan cowok itu masuk ke mobilnya. Mungkin sedikit dengan paksaan.
Cowok itu menunduk. Menarik kakinya naik dan memeluknya erat. "Sagha nggak tau rumah Sagha dimana tapi," rengeknya.
"Sagha mau pulang."
Lona masuk ke mobilnya, duduk di bagian pengemudi dan menyentil gemas hidung cowok asing itu yang mendongak menatapnya. Sebenarnya, batinnya sudah sedari tadi kesal. Membantu ternyata tidak semudah yang dia duga. Menjadi orang baik itu susah.
"Nama, siapa?"
Cowok itu menelengkan kepalanya. "Sagha," katanya ceria dan tersenyum manis hingga kedua matanya menyipit lucu.
Sagha, namanya. Oke, ingat kata itu. Walau nyatanya Lona enggan mengingatnya.
"Kamu orang baik, kan?" Sagha tiba-tiba bertanya, mengerjap lugu menatap Lona yang menghela nafasnya kasar. "Bukan orang-orang jahat yang suka pegang-pegang pistol, kan?"
Apa harus Lona menodongkan pistolnya yang tersimpan di dashboard mobilnya supaya Sagha tau siapa dirinya? Lona bahkan bukan orang baik-baik yang patuh membayar pajak negara. Dia yang mengambil uang-uang mereka.
"Gue orang jahat. Jadi, duduk manis dan sebutin nama orangtua lu," titah Lona sambil tersenyum, bukan─dia menyeringai. Membuat Sagha dengan segera duduk manis menatap ke depan dan berusaha memang sabuk pengamannya, tapi dia memang payah. Hal itu malah jadi rumit untuknya.
"Nggak usah dipake,"
Sagha hanya mengangguk. "Ayudha," gumamnya lirih. Dan Sagha lagi-lagi menarik kakinya naik.
Ayudha. Sialan, kalangan elit, nyatanya. Lona semakin menyeringai lebar.
"Lona. Nama gue," ucap Lona memperkenalkan dirinya sambil mencengkram lembut wajah Sagha yang tampak mengerjap memandangnya.
"Lolo?" ulang Sagha.
Lona berdecak. Sagha memang menyebalkan dengan kepolosannya, dari awal. "Terserah,"
***
"Keluar,"
Sagha merenggut. "Tapi, kan belum sampai di rumah," rengeknya dan mengabaikan Lona yang telah berdiri di luar, akan membuka pintu mobilnya. Lona berdecak dari luar sana, mengetuk-ngetuk jendela mobil dengan tatapan datar.
Sudah dia bilang, menjadi orang baik itu bukan hal yang mudah. Dan yang ditolong pun terkadang tak tau diri.
Lona menarik pintu mobilnya, namun itu malah sulit terbuka. Sagha menguncinya dari dalam. Lona lagi-lagi menariknya, tapi Sagha tetap diam menatapnya dengan lugu dan duduk manis di sana.
"Anterin Sagha pulang!"
Lona berdecak keras, memukul-mukul jendela hingga bergetar membuat Sagha tersentak dengan mata yang berkaca-kaca bersiap menangis. "Keluar,"
"Nggak mau!"
Helaan nafas Lona terdengar jelas. Dia tersenyum miring hingga suara klek! terdengar jelas ketika pintu mobilnya terbuka. Sagha terdiam, menatap lugu sosok Lona yang menarik lengannya dan mendudukkannya di pinggir jalan dimana sekitarnya hanyalah hutan yang gelap.
"HUWAAA JANGAN TINGGALIN SAGHAAA!"
Lona melambaikan tangannya dari jendela mobil yang telah beranjak menjauhi jalanan di mana Sagha menangis keras dengan kaki terhentak ke jalanan. Dia menyeringai lebar.
"Tuan muda," Sagha menoleh, menghentikan isakannya sesaat sebelum menangis lebih keras membuat beberapa pria berpakaian hitam itu kelimpungan.
─tbc─
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILDISH (✓)
Romantik[END] Lona itu sejenis gadis nakal yang terlalu bebas. Oh bukan, dia bahkan menjadi bagian dari kelompok mafia. Dunia kriminal bahkan melingkupi hari-harinya. Takdir memang aneh ya bila membuatnya jatuh terpikat pada seorang lelaki lugu sejenis Sag...