G O D D E S S P A R K — © 2 O 1 9
( walau ceritanya biasa saja
tolong hargai, ya ? )pagi buta, dirundung nestapa. lihatlah buana dengan ragam rupa bidak di dalamnya. dan tinjaulah arunika yang berpadu dengan kidung-kidung merpati bersayap gagah yang melintangi cakrawala.
seolah bersorak-sorai, memuja dedaunan yang berpatahan dari dahannya. sedangkan jemariku tengah merangkai temali pada sepatu usang, sebab sudah tua.
lantas seorang figur bagai ksatria tanpa lencana, meruntuhkan lamunku. dengan bisingnya motor yang dinaikinya. lalu si anak adam itu berhenti, menepi, tepat di depan rumahku. lalu beliau berteriak jenaka,
"radinka, aku butuh teman!"
seketika, sudut bibirku mengulas senyuman yang hampir tembus menjadi sebuah gelak.
iya, hanggara memang semenyenangkan itu di mataku.
"lantas selama ini aku bukan temanmu, iya!?" balasku.
"bukan itu maksudnya!"
kemudian, aku beranjak seraya mendeklarasikan salam kepada seisi rumah. sehabisnya, aku menguntai langkah pada figur yang bertandang jaya di atas motornya.
"terus apa?" tanyaku, melanjutkan konversasi yang tadi sempat dijeda.
"teman yang mau diajak duduk di jok belakang motor ini, kalau kamu gak mau yaudah gapapa," tuturnya, seraya berlagak hendak pergi menancap gas.
"eh, enggak. aku mau!" jawabku, kemudian ia tersenyum, manis.
lalu aku benar-benar pergi dengannya. menatapi trotoar kota, pepohonan rindang, lalu lalang para pejalan kaki. bahkan ketika konversasi mulai sunyi, aku pun bersenandung samar,
"Bilur makin terhampar
dalam rangkuman asa
Kalimat hilang makna
logika tak berdaya
Di tepian nestapa
hasrat terbungkam sunyi."aku menjeda.
"Entah aku pengecut,
entah kau tidak peka."lanjut hanggara.
"eh?" latahku.
"kenapa?"
"gapapa, hehe." canggung, kuputuskan untuk tak lagi bersuara. namun,
"bila kau butuh telinga tuk mendengar
Bahu tuk bersandar, raga tuk berlindung
Pasti kau temukanku, di garis terdepan
Bertepuk dengan sebelah tangan"lanjut hanggara.
"kok jadi diem?" tanyanya, heran.
"gapapa."
"din, aku teman kamu. udah lama loh, bukan teman baru. setauku, kalau kamu sering diam artinya kamu kenapa-kenapa," tuturnya lembut, dengan nada tenang, setenang air telaga.
aku tersenyum simpul, sedangkan benak berisyarat janggal. serta kepalaku, mulai memutar rol film hitam yang dinamakan memori, yang baru saja direkam tadi malam.
tadi malam, hanggara tidak baik-baik saja. jelasnya, tatkala mas damar menyampaikan pesan. dan hanggara rapuh tadi malam. atau mungkin saat ini juga.
lalu, sekarang ia bisa tersenyum lepas, tertawa jenaka, dan bersenandung ria. sedangkan mungkin suasana hatinya yang sebenar-benarnya bersemayam dibawah topeng yang ia pakai. ditutup rapat-rapat bagai mutiara di dalam cangkang kerang.
dan tak satu pun insan yang dapat menerka.
apa yang ia rasa, dan apa yang ia jaga.
dan aku sungguh tak suka, dengan sikapnya yang terlalu peduli, sedangkan ia malah meluka sendiri. dan aku tak suka, pada halnya ia yang terlalu empati sehingga ia terlalu banyak mendengar daripada didengarkan.
karena pada saat itu, aku merasa egois. dan aku benci perasaan itu.
"hangga,"
"iya, apa?"
"kamu pernah bilangkan ; 'ada hati untuk dicurah, ada suara untuk bercerita.' kan?" ia mengangguk.
"terus kamu pernah bilang ; 'relasi antar insan itu harus seimbang, seperti timbangan yang tumpuannya tepat ditengah-tengah.' ya?" lanjutku, lalu ia meng-iya-kan.
aku mengembus napas pelan. lalu kembali berucap,
"dan selama ini diantara kita, siapa yang selalu mendengar? dan siapa yang selalu menyediakan bahu untuk bersandar?" ia terdiam, tak menjawab.
"itu kamu, selalu kamu. kapan aku punya kesempatan untuk menjadi pendengar dan menjadi sebuah sandaran?" lanjutku. dibalas senyap 5 detik, kemudian dijawab dengan,
"nanti, kalau aku kesulitan memandang jalan lepas. atau nanti, kalau aku jatuh dalam ceruk semesta yang kejam. mengerti?"
heeeeey !
makasih ya udah baca
cerita ini. aku seneng banget
lihat notif dermaga di masukin
ke reading listnyaa huhuu 😭diingatkan lagi, pakai latar hitam yaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga
Fanfic↺ ☾ bahasa | lowercase ☽ ❝ satu tangan untuk engkau genggam, memeta angan dan sebuah jalan pulang. ❞ ft, hendery wong. © GODDESSPARK