07. 𝐍𝐀𝐔𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐒𝐄𝐍𝐉𝐀𝐊𝐀𝐋𝐀

1.7K 291 86
                                    

G O D D E S S P A R K — © 2 O 1 9
✧    : :     ☾
❝ kendati tak ada ikatan rasa
salahkah apabila kita saling takut
perihal jatuh pada luka yang sama? ❞

G O D D E S S P A R K — © 2 O 1 9 ✧    : :     ☾ ❝ kendati tak ada ikatan rasasalahkah apabila kita saling takutperihal jatuh pada luka yang sama? ❞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










sabit hitam tinta dua insan yang berada di naungan senjakala, dipasung melankolia dalam nyenyat. sederhananya, kami hanya terdiam sepanjang tepian jalan, temaram.

andaikata, figur si puan itu tak pernah lagi ada. mungkin saja, hari ini terpantau tenteram.

bohong, jikalau tak ada genderang yang berkumandang dalam jiwa, atau tak ada angin ribut yang memporak-porandakan sukma.

sejatinya, intuisiku kian menggema. tetapi satu waktu, terlalu takluk akan rasa. aku memang mencintainya sebagai teman belaka, namun bolehkah aku menggenggam erat tangannya. sebab takut apabila ia ;

jatuh pada gadis yang sama.















"radin," panggilnya, membuatku terlepas dari jerat temali pikiran sendiri. aku pun menoleh. seraya berkata, "kenapa?"

"kok mendung?" tanyanya. aku pun mengawang pandang ke angkasa raya. sekadar menilik, apakah benar tentang pernyataan yang terucap dari bilah redup si pemuda?

"gak tau, mungkin langitnya lagi sedih," jawabku seadanya, setelah dipandangnya langit abu.

"aku gak lagi bicara tentang langitnya," ucapnya, sontak aku menyerngitkan dahi isyarat tak paham. kemudian ia kembali berucap,

"aku bicara tentang kamu."

sontak aku tertegun, terkadang terlalu peka memang tak seindah yang kukira.

"memangnya kelihatan banget, ya?" tanyaku meragu, lalu ia mengangguk.

"karena terkadang, suara hati yang terdiam bisa terlukiskan di raut muka..." ujarnya. sedang surai legamnya diterpa angin senja.

"...jadi, berkenan bercerita?"

frasa sederhana dari ranumnya, bagai seteduh bumi yang diselimuti cakrawala. mengetuk hati, tuk mengungkap seluruh muatannya, yang sedari tadi bersemayam di dalam terungku kepala.

namun, sepenggal rasa takut dirundung prasangka yang keliru. membuatku kembali dilanda seribu ragu.

seumpama, aku bercerita tentang apa yang aku rasa, apa semesta menjamin tak ada salah sangka diantara kita?

"enggak deh, gak penting." aku berujar dusta.

"aku cuma takut kamu jatuh lagi," gumamku, benar-benar pelan. ditelan bisingnya gaduh perkotaan.











kemudian, tak ada lagi untaian konversasi yang menghiasi senja kelabu ini. sampai rerintik hujan mulai menghujam aspal hitam. beserta orang-orang yang berpijak diatasnya.












"berteduh dulu," tuturnya, seraya menunjuk sebuah kedai tutup dengan bahasa wajahnya. sedangkan raganya, bagai hendak pergi melangkah ke arah lain. sehingga aku menahan lengannya.

"kamu mau kemana?" tanyaku.

"ambil payung, ketinggalan di lapangan." ujarnya, lalu bergegas melintangi jejatuhan air sang dirgantara. "tunggu aku," titahnya dari jauh.

lantas aku menurut untuk menunggunya di depan kedai tutup. seraya melayangkan pandang ke sudut-sudut jalan. pongah sekali rupanya, si hujan dalam menyerbu hamparan bumi. sampai-sampai, penghuninya kelimpungan mencari tempat teduh untuk menepi.

hujannya kian menderu, seolah menghardikku. karena tengah berdiri sendiri, sedang seseorang yang kunanti tak kunjung datang juga.

padahal, letak sekolah tak jauh dari sini. lantas, apa yang membuat hanggara membuatku menanti cukup lama?










"lagi nunggu siapa?" satu suara menginterupsi, sontak aku terkejut bukan main. sebab si oknum yang tak lain adalah arjuna.

"hanggara."

"udah lama?" tanya si taruna berpayung hitam, yang bersemat nama arjuna.

"lumayan," jawabku singkat. setelahnya, hening sejeda. sampai ia berkata,

"mau bareng gak?" tawarnya, namun aku ragu untuk menolak maupun menerima. lagipula, hanggara tak ada kabarnya juga. di hubungi lewat gawai pun, tak bisa.

"mungkin hanggara diam di sekolah dulu, soalnya hujan ini makin deras," ujarnya meyakinkan, sehingga perlahan aku semakin terbujuk.

"tapi—"

"daripada kamu disini sendirian, aku bersedia antar kamu sampai rumah, itupun kalau kamu berkenan," timpalnya. kemudian aku menatap sekitar, memastikan bahwa hanggara benar-benar tidak datang.











"yasudah, arjuna. aku mau."

perlahan pula meragu, namun aku benar-benar pulang dengannya. rasanya seperti saat itu, tatkala kami masih sama-sama merasa, bukan saling meluka. atau bahkan seperti saat ini, seperti teman belaka.

namun sayangnya, aku terlalu terbujuk olehnya. sehingga aku tak membiarkan diriku untuk menanti sedikit lebih lama.

tak tahu saja, ketika aku berjalan dengannya. ada hanggara dengan seragamnya yang sudah tak berupa. serta payung yang digenggamnya, menatapku dari belakang tanpa suara maupun mimik rupa.



----

"justru kamu yang jatuh lagi, radinka."

hanggara.

----

jeng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


jeng...jeng...jeng

terguncang gak nie, arjuna dateng lagi?

tbc

DermagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang