18 - Nightmare

9 0 0
                                    

Rouh tersentak, membuka mata hanya untuk menemukan ruangan gelap gulita yang sudah akrab dengannya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya sekaligus lalu bangkit dari gumpalan empuk itu untuk membasuh wajahnya di kamar mandi. Jarum jam bersatu di angka yang sama dan bulan masih tepat di tengah-tengah langit. Setahun berlalu dan Rouh belum bisa tidur nyenyak semalam pun.

Pantulan dirinya di cermin, ia tatap lekat-lekat. Menatap matanya sendiri dengan ribuan pertanyaan di benaknya.

Kenapa?

Kenapa ia masih belum lepas dari bayang-bayang Eleanor? Wajah keras dengan mata merah wanita itu terus mendatangi malam-malamnya hanya untuk mengatakan,

Kenapa kau meninggalkan ibu?

Rouh bergidik, membasuh wajahnya lagi dan mengusir bayangan Eleanor dari pikirannya.

Aku sudah bebas. Aku tidak di rubanah lagi. Aku bebas! Tidak ada Eleanor, tidak ada Christian, tidak ada basement, tidak ada….

“Mimpi buruk lagi?”

“Ya Tuhan!!” Rouh melompat ke belakang kemudian memaki Alzenn yang berdiri bersandar di bingkai pintu kamarnya. “Jangan muncul tiba-tiba kalau kau tidak mau menemukanku mati serangan jantung.”

Berjalan kembali ke ranjang, Rouh berbaring di sana lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia harus tidur kembali untuk membuktikan pada psikiaternya bahwa ia telah membaik.

Rouh harus segera lepas dari pengawasan Alzenn atau minimal membuat Alzenn percaya bahwa Rouh akan baik-baik saja meski ditinggal seorang diri.

“Masih tidak mau berbicara?” Alzenn mendekat.

Oh, Tuhan. Jangan lagi!!

Si gadis menggeleng yakin, tak ada yang mau ia bicarakan dengan psikiater itu. Menutup mata dan berusaha meraih bunga mimpi selain dari mimpi-mimpinya selama ini, Rouh mendoakan Alzenn semoga pria itu memiliki kesabaran tak terbatas.

“Berbicara akan membuatmu bisa tidur dengan tenang.” Alzenn tak menyerah meski Rouh telah mendengkur dengan sengaja.

Niat untuk melihat bagaimana perkembangan Rouh pulih dan menjadikannya bahan riset tidak lagi penting untuk Alzenn, baginya, keinginannya sekarang tidak lebih untuk melihat gadis itu bisa tertidur lelap tanpa harus bangun tengah malam dengan kondisi yang tak berbeda dengan pelari maraton yang gagal mendapat posisi pertama.

Menyedihkan bagi Alzenn untuk melihat Rouh tersiksa seperti ini. Bahkan, bagaimana gadis itu selalu menolak bertemu dengan Jane adalah bukti bahwa Rouh masih belum membaik. Berinteraksi dengan orang lain tak lagi menjadi kendala untuknya dan malah ia sekarang terlihat seperti ceriwis supel yang tak masalah bergaul dengan siapa saja. Namun, ketika menyangkut Jane dan Theo, Rouh sering berusaha menghindar.

Bukan seperti benar-benar tak ingin bertemu dengan orang tua kandungnya karena Rouh telah menerima kedua orang itu bahwa mereka tak seperti Eleanor dan Christian. Berkat usaha besar untuk membuat Rouh paham dengan betapa berhati hangatnya Jane dan Theo, Rouh akhirnya tak takut lagi untuk bertemu dengan mereka.

Hanya saja…. Alzenn melihat ke sekeliling kamar, buku-buku yang memenuhi rak-rak sampai tak muat lagi hingga sebagiannya tertumpuk di lantai, berbagai macam bentuk dan warna rubik yang tersimpan rapi di tempatnya, lemari-lemari yang dipenuhi dengan pakaian dan sebagiannya masih terbungkus kotak dan paperbag, serta barang-barang elektronik yang juga masih tersegel rapi dalam boxnya. Alzenn mendesah, kamar yang ia pinjamkan pada Rouh setahun lalu di rumahnya tak bisa menampung semua bentuk kasih sayang Jane dan Theo. Kamarnya terlalu kecil.

Melihat gadis yang berpura-pura tidur di sana, Alzenn mendesah lagi. “Kapan kau akan ke rumah Jane?”

Ugh. “… nanti!”

DREAMTEARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang