touring (sehun, yeri)

599 63 0
                                    

Setelah meyakinkan diri untuk kesekian kalinya, Sehun akhirnya memberikan jawaban pamungkas:

iya, gue ikut!

Namanya juga bucin. Apa aja diiyain. Rela berkorban dengan penuh keikhlasan.

. . .

Yerim menunggunya di barisan paling belakang, di taman tempat mereka berkumpul tersebut. Sehun mengayuh sepedanya lebih cepat—sepeda baru, guys, tenang saja ini bukan sepeda bekas sohibnya lagi, ia sengaja mengeluarkan tabungannya untuk ini—mendekati Yerim sambil melambaikan tangannya.

Perempuan itu membalas lambaian tangannya dengan bersemangat. Yerim berseragam lengkap, helm, pelindung siku dan lutut, sepatunya berwarna ungu cerah.

"Hello Kak!"

"Gue nggak telat, kan?"

"Nggak, tenang aja, masih ada beberapa orang lagi, kok."

"Mau ke mana aja hari ini?"

"Touring doang kok. Paling-paling ntar stop sekali atau dua di titik yang biasa." Yerim maju-mundur dengan sepedanya, salah satu kakinya berpijak pada trotoar tepi jalan.

"Seberapa jauh?"

"Yaaah, mungkin 20 kilo."

"Itu satu arah atau bolak-balik?"

"Satu arah."

Jika bisa, rahang Sehun sudah jatuh.

. . .

Sehun berusaha melupakan angka jarak yang bakal ditempuhnya dengan menikmati perjalanan; santai. Beruntung Yerim selalu berada di dekatnya. Kadang berada di hadapannya, kadang berada di belakang, kadang mereka bersisian dan mengobrol ringan. Yerim bercerita banyak tentang adik-adiknya, masa sekolah SD-nya, memori-memorinya bersama Minseok, dan beberapa hal konyol yang dia lakukan semasa SMA, misalnya menelan cokelat kedaluwarsa, meruntuhkan tumpukan kotak sepatu di sebuah department store, dan menyeduh mie instan pada tengah malam dengan air dingin.

"Kalo Kak Sehun, hal paling bego yang pernah Kakak lakuin apa?" Yerim bertanya santai, tetapi langsung menyadari apa yang dia lontarkan, "Kalo boleh tau sih, hehe. Kalo Kak Sehun nggak keberatan cerita ...."

"Gue pernah bantuin temen gue ngambil kucingnya yang kejebak di loteng rumah kosong punya tetangga. Ternyata loteng itu asyik buat tempat nongkrong. Kami keterusan main di sana. Ke sananya cuma pake tangga yang disandarin ke pagar rumah gue, nyampe deh." Sehun berhenti sebentar untuk melipir sedikit, memberi lebih banyak ruang untuk Yerim agar tak terlalu ke tengah jalan. "Tapi suatu hari, Papa gue nggak tau kalo kami tuh lagi main di sana. Tangganya diambil karena mau dipake, terus kami nggak bisa turun. Harus tereak-tereak dulu."

Yerim tertawa renyah. Segar sekali. Pegal di kaki Sehun jadi tak terasa lagi. Sehun turut tersenyum. Pembicaraan seperti ini sudah jadi hal yang natural di antara mereka, sebuah perkembangan yang pelan tapi pasti, pikir Sehun. Betapa berharganya momen-momen seperti ini; yang membuat Sehun bersyukur: perjalanan masih panjang.

Mereka ternyata singgah lebih sering daripada yang diperkirakan Yerim. Ada spot-spot tertentu di area pinggir kota yang asri, sejuk, dan cocok untuk bersantai.

Yerim, sebagai seorang hits Instagram, senang sekali mengabadikan banyak hal di sekitar tempat bersinggah tersebut. Termasuk dirinya sendiri. Sehun dengan sukarela mengusulkan diri sebagai fotografer.

Duh, jadi fotografer pribadi pun gue nggak papa.

. . .

Perjalanan yang menghabiskan waktu hari Minggu Sehun hingga tengah hari itu sangat berkesan. Obrolan yang hangat (seakan-akan obrolan tiap hari di sekolah setiap mereka bertemu kurang cukup), lalu Yerim yang tak jauh-jauh darinya, membuat Sehun lupa apa yang sedang dideritanya. Ia tersenyam-senyum sendiri di kasurnya saat teringat touring kemarin.

blooming daysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang