SERENADE
SEASON IIBRIDGE OF PROLOG
Angin berhembus dari arah utara. Dingin menusuk tulang membawa musim selanjutnya. Lembab merasuk dalam volume udara. Mentari semburat saga di penghujung senja. Rintik gerimis seolah terpanggil membasahi pelataran jalan.
Hidung ku mendadak berlendir tanpa ku sadari. Sepertinya akan berwarna merah seperti milik badut pesta kecil siang tadi. Pesta penyambutan yang konyol dan membuat ku lupa dengan usia sendiri. Mereka terlalu berlebihan menganggap ku, sejak dulu sampai detik ini.
Angin dingin terus semilir. Terasa membawa kabar yang lama tak bergulir. Rongga dada ini sesak sendiri. Entah apa yang ku pikirkan saat ini. Hanya beberapa fragmen yang aku tak yakin itu yang ingin ku ingat kembali.
Adakah yang masih mengingat ku?
Di luar sana, mereka yang pernah ada dalam hidup ku, adakah yang masih mengingat ku? Tentunya di lembaran usang yang lama ku tinggalkan. Terbengkalai tanpa ada niatan untuk ku ulang. Lembaran lama yang lebih dari dua pertiganya hanyalah luka dan airmata ku saja.
Apa aku terdengar sedang berduka? Bersedih akan masa remaja ku yang tak bahagia? Siapa bilang aku tak bahagia? Aku sangat menikmatinya.
Bahkan setiap goresan tak kasat mata dalam hati ku. Setiap tetes airmata yang ku pendam jauh. Setiap jengkal kepedihanku waktu dulu. Dan kesendirian ku yang bila diingat akan semakin terasa pilu. Aku tersenyum mengingat semua itu.
Cinta, ku sebut keyakinan itu adalah cinta. Karena aku percaya, jalan hidup ku akan indah pada waktunya. Aku hidup bersama dengan mereka yang membesarkan dan merawatku, bayi yang malang. Ku rasa cinta tak akan mustahil menjadi bagian dari nafas ku dan mereka.
Sayangnya, aku terlalu naif. Kepolosan ku membuat luka ini semakin tragis. Keyakinan ku akan cinta itu membuat kebahagiaan terkikis. Dan yang tersisa hanya aku yang mati dalam seribu malam penuh tangis.
Aku mati?
Ku jawab, IYA dengan sangat lantang.
Aku sudah mati beberapa tahun silam, dalam pelukan seseorang yang paling ingin ku beri hukuman. Aku menghembuskan nafas terakhir ku diiringi dengan tangisnya yang memilukan. Lalu, aku tertawa, dengan puasnya, menyaksikan mereka meraung penuh penyesalan.
Aku membunuh diri ku sendiri dan itu tak ku pungkiri.
Namun yang pergi bukanlah raga ini.
Pergi meninggalkan lembaran lama bersama luka disana. Pergi demi sebuah tujuan yang rasanya sangat egois untuk di ungkapkan. Tapi, semua itu benar-benar aku lakukan. Pergi dari mereka semua yang sejak awal tak mempedulikan kehadiran anaknya.
Hukuman yang mereka terima hanyalah penyesalan ketika aku mati. Sesederhana ini aku membalas semua rasa sakit hati yang ku alami. Masih terlalu baik untuk ku menjadi malaikat maut apalagi iblis kecil.
Aku tak menyentuh mereka sama sekali. Aku tak bicara pada mereka sepatah katapun. Kenangan yang ku tinggalkan untuk mereka hanyalah sebentuk rasa yang akan mencekik sepanjang waktu. Menguras udara bersih yang jungkir balik mereka raup. Lalu, menjalani sisa hidup dengan maaf yang menggantung.
Ku harap salah satu dari mereka tak ada yang bunuh diri hanya karena diri ku. Aku masih belum puas memberikan hukuman. Masih iingin ku lihat seberapa dalam mereka punya penyesalan. Seberapa kering airmata yang mereka keluarkan. Seberapa sakit rasanya mengingat ku hanya tinggal nama dalam kenangan.
Aku bukan menghindar. Aku bukan lari dari kenyataan. Aku hanya ingin melampiaskan kemarahan. Tanpa harus bersentuhan dengan mereka. Karena aku bukan orang yang pandai menyiksa.