SERENADE
SEASON IIBAB I
Satu ruas kehidupan telah mencapai babak baru. Lembaran yang usang telah berlalu. Tergores tinta di buku dengan nafas menderu. Menelan pahitnya sesuatu yang bernama rindu. Lewat semilir angin yang menerbangkan senandung pilu.
Sebuah sepeda terkayuh penuh semangat. Seseorang menaikinya demi mengawali hari yang hangat. Ketika sinar mentari kian menguat. Sebelum itu terjadi satu tugas harus segera ia selesaikan cepat-cepat.
“Pagi Nyonya Jung!!”
Teriakan lantang itu mewakili kekuatan dari dalam jiwanya yang mencapai batas. Melewati beberapa perumahan. Meletakkan kotak-kotak susu di tempat yang sudah di sediakan. Berkeliling ke beberapa kompleks dan mengantar semua pesanan susu segar tepat waktu sebelum siang menjelang.
Menjadi tukang pengantar susu di pagi hari, di sambung dengan pengantar koran ke beberapa instansi dan perumahan. Kegiatannya sangat padat dalam satu hari. Karena dia adalah orang yang harus selalu mengisi ruang kosong di hati. Dengan menyibukkan diri mungkin itu hal terbaik.
“Vi, besok bawa dua kotak, anak ku akan datang dari seoul dan dia sangat menyukai susu,” Ucap salah satu pelanggannya dari balik pagar rumah.
“Baiklah Nyonya Jung, termakasih untuk pesanannya,”
Senyum itu merekah, sembari mencatat pesanan di sebuah notes kecil yang selalu ada di saku jaketnya. Topi cap yang ia kenakan tidak menjadi penghalang, pancaran ceria senyum di wajahnya.
“Vi! Apa kau bisa membantuku?” Teriak suara lain dari seberang jalan.
Sosok pemuda bernama Vi menoleh seketika. Terlihat sosok nenek yang renta berdiri di pinggir jalan. Ia pun turun segera dari sepeda. Lalu berlari menghampiri si nenek yang menunggunya.
“Ada yang bisa ku bantu nek?” Ia bertanya dengan ramah kepada yang lebih tua.
“Saluran air di rumah ku sepertinya tersumbat sesuatu, kamar mandi jadi banjir, aku takut tenggelam,” Keluh sang nenek, memegang erat tangan pemuda itu.
“Coba ku lihat dulu ya nek,”
Tanpa menunggu lama, si nenek menarik masuk lengan Vi. Sepeda teronggok begitu saja di seberang jalan. Untung semua pesanan susu telah ia antarkan. Tidak ada tugas yang menumpuk belakangan.
Hunian ini sangat nyaman. Untuk ukuran sosok renta yang butuh ketenangan, rumah menjadi tempat yang menyenangkan. Nenek ini tinggal bersama satu cucunya yang sudah beranjak dewasa. Namun sang cucu harus berangkat kerja pagi-pagi buta. Jadilah sekarang si nenek sendirian di rumah.
“Rumah nenek tidak akan tenggelam hanya karena saluran air tersumbat,” Ucap Vi selepas ia menanggalkan jaket dan melepas topinya.
Ia bergegas menuju ke kamar mandi yang telah nenek tunjukkan. Memang benar air sudah menggenang semata kaki di dalam sana. Dan akan meluber kemana-mana jika tidak segera di perbaiki salurannya.
Vi segera menemukan sumber masalah. Ia menjadi geli sendiri dan sebisa mungkin menahan tawanya. Lubang yang seharusnya menjadi jalan air buangan keluar terhalang oleh sesuatu berwarna merah muda. Dan ketika benda itu tercabut, air genanganpun berangsur surut.
“Nenek, dimana biasanya meletakkan pakaian kotor?” Tanya Vi dan ia masih menggenggam sesuatu berwarna merah muda si tersangka utama tersumbatnya saluran air.
Karena itu adalah kain, dan sepertinya masih akan di pakai, ia letakkan benda penyumbat itu di tumpukkan pakaian kotor. Merasa lucu karena apa yang ia temukan di saluran air tidak seharusnya ia lihat apalagi ia sentuh. Karena itu benda pribadi milik seorang anak gadis, celana dalam.