00.02

66 16 12
                                    

"Kamu itu, seperti air. Yang tak bisa digenggam, tetapi bisa dirasakan."

~~~

Tak terasa, sudah seminggu penuh Dara menempati sekolah barunya. Selama seminggu itu juga, semua berjalan lancar. Tidak ada yang perlu ia takuti lagi. Karena ketiga teman barunya, ia merasa terlindungi.

Disaat Dara ditanya oleh mereka bertiga, jawaban yang mereka dapatkan, membuat semuanya sedikit terkejut. Lantas mereka semua tersenyum memaklumi.

Sejak saat itu, mereka semua semakin dekat. Tanpa adanya keraguan. Dara sangat senang dengan teman barunya. Ia diperlakukan sangat baik. Sehingga membuat Dara semakin nyaman.

Minggu malam. Dimana ayah dan ibu tiri, serta saudari tiri nya, datang menginap di rumah nenek nya selama seminggu penuh. Ada rasa senang bercampur sedih.

Ya, sedih. Erick—ayahnya, tidak pernah memberi kasih sayang yang berlebih kepadanya. Ayahnya selalu berlaku tidak adil. Kadang ia merasa dirinya seperti bukan anak kandung. Ia seperti debu yang menempel disebuah lantai. Tidak dianggap.

Ia tahu, mengapa ayahnya berlaku tidak adil pada dirinya. Karena, ia bisu.

Terkadang, Dara merutuki kebisuannya. Ia merasa tidak ada gunanya lahir tanpa diberi sebuah suara. Juga, terkadang ia membenci dirinya sendiri yang tidak bisa apa-apa.

"Dara? Kenapa kamu melamun? Makan, keburu makanan nya dingin." Erick, ayah Dara membuyarkan lamunannya. "Kamu ada masalah?"

Dara menggeleng sebagai jawaban. Lantas Dara maupun Erick melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

Setelah tiga puluh menit, makan malam mereka sudah selesai.

"Olivia, besok berangkat ke sekolah, ayah antarkan kamu. Sekalian, ayah mau berangkat ke kantor." Ucap Erick kepada Olivia—kakak tiri Dara.

Olivia mengangguk mengerti. "Jangan lupa! Uang jajan aku tambahin ya," pinta Olivia dengan manjanya.

"Apa, sih, yang enggak buat anak ayah tercinta?" Balas Erick diselingi dengan senyum tulus.

Dara mendengus pelan. Inilah yang membuat dirinya merasa sedih serta iri kepada Olivia yang mendapatkan kasih sayang dari ayah kandung nya. Bahkan, Olivia selalu dimanja oleh ayahnya dibandingkan dirinya. Sekarang ia hanya menatap ketiga insan—termasuk ibu tirinya yang sedang tertawa bahagia, bahkan dirinya seperti dianggap tidak ada.

Dara mulai merapihkan meja makan dan mencuci semua piring yang dipakai makan tadi. Lalu naik ke atas menuju kamarnya.

~o0o~

"Ra, lo udah ngerjain tugas nya si guling-guling?" Nilla, Vey, dan Echa sedang berkumpul di tempat duduk Dara. Ya, mereka semua hanya berbasa-basi demi mendapatkan contekan. Hanya tiga orang yang ingin mendapatkan contekan. Terkecuali, Dara. Ya, karena, memang tugas Dara yang akan dicontek.

"Udah lewat 10 menit semenjak bel. Itu berarti.." mata Vey menatap ketiga temannya. "Si guling-guling, enggak masuk?"

"Alhamdulillah, ya Allah! Akhirnya!" Girang Nilla sambil sujud syukur.

"Kayak nya itu cuma angan-angan kalian doang deh!" Mereka semua refleks menoleh menghadap ke depan kelas, tepatnya di pintu.

Benar saja, Bu Diana atau lebih akrab dipanggil si guling-guling itu sudah berdiri di depan kelas, menatap semua murid-muridnya dengan tatapan tajam dan horror.

"Tugas yang ibu kasih kemarin sudah dikerjakan semua?" Tanya Bu Diana dengan nada sedikit ngegas.

Serempak semua murid menjawab. "Udah, bu!"

Bu Diana hanya mengangguk-anggukkan kepala nya saja. Dia tidak tahu, sedari tadi saat dirinya tengah menjelaskan materi, semua murid-murid sedang menyiapkan berbagai macam ancang-ancang. Bahkan, ada yang ingin menyantet online.

"Sabar-sabar, kita enggak boleh gegabah." Perintah Fito yang sedang menyabarkan para teman-temannya. Yang mau tidak mau, membuat semua siswa siswi ikut bersabar untuk tidak menyantet online.

"Untung guru." Ucap Nilla sambil mengusap-usap dadanya.

Kring... kring...

Serempak semua murid berkata "Alhamdulillah, kita bebas!" Setelah memakan waktu hampir 2 jam, akhirnya mereka semua bebas dari pelajaran si guling-guling. Karena, bel istirahat telah berbunyi. Hampir seluruh murid bersujud syukur.

~o0o~

"Lang, Lang, Lang!" Teman Elang, tiba-tiba berteriak heboh memanggil nama Elang sambil menunjuk ke arah seorang gadis bersama 3 temannya.

"Ada apa, sih, Vin? Kayak cewe alay tau nggak!" Cibir Elang dengan mata mendelik ke arah temannya yang bernama Arvin.

"Itu, tuh, si anak baru yang gue bilang. Cantik juga, euy!" Jawab Arvin sambil bersiul di ujung kalimat nya.

Elang melihat gadis yang ditunjuk oleh Arvin tadi. Menurut dirinya gadis itu biasa saja. Tidak secantik yang ia kira, malah, tidak menarik sama sekali. "Gimana nih, Lang? Cantik, kan?" Goda Arvin dengan menaikkan kedua alis nya.

"Biasa aja." Balas Elang dengan menaikkan kedua bahu nya. Arvin yang mendapat respon itu pun, langsung cemberut.

Teman Elang, atau sering dipanggil Rezvan bertanya kepada Elang. "Kapan lo mau mulai rencananya?"

Elang menyeringai. "Besok. Kean, cari tau tentang dia."

Merasa disebut namanya, Kean cepat-cepat menoleh kearah sumber suara. Jari telunjuk nya mengarah pada dirinya. "Kenapa jadi gue?"

"Turutin aja napa, sih!" Kean hanya bisa mendengus pasrah. Membiarkan Elang melakukan apapun semau dia.

~o0o~
.
.
.
.
.

VOTE AND COMMENT.

jangan jadi silent reader ya:)

-28 November 2019-

ContritioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang