00.04

28 13 9
                                    

"Dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi, kesabaran adalah kunci semua persoalan."

~~~

Kadang, Dara berpikir, akankah suatu hari nanti Dewi Fortuna datang di kehidupannya? Seperti, cerita dongeng Sleeping Beauty, seorang putri yang dikutuk oleh penyihir untuk tidur selamanya. Dan, hanya ada satu penyangkal, yaitu, dicium oleh cinta sejatinya. Akankah Dara seperti itu juga? Ia menginginkan satu hal.

Suaranya.

Ia hanya menginginkan itu. Tapi, ia sadar. Itu tidak akan mungkin terjadi.

Sampai suara cempreng milik Vey membuyarkan lamunannya. "Dara! Dari tadi gue panggil juga, hampir mau abis tau suara gue."

Dara mengatupkan kedua tangannya di depan dada seraya membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf. Ia merasa bersalah.

"Ra, mendingan lo ikut kita ke kantin aja, deh. Dari pagi, badan lo lesu banget. Lo belum sarapan, ya?"

Ah, ya. Sedari pagi, sebelum berangkat sekolah, Dara tidak sarapan. Bahkan, neneknya saja tidak sarapan. Entahlah, ia tidak tahu. Yang pasti, ayahnya melarang dirinya serta neneknya sarapan pagi ini.

"Yuk, cabut. Udah laper banget, nih!" seperti biasa, diantara mereka berempat, ada yang hobi sekali makan.

Mereka semua hanya menggelengkan kepala melihat hobi nya Nilla yang sangat suka sekali dengan makanan. Bahkan, cita-citanya ingin menjadi seorang Pramugari! Sangat tidak nyambung sekali.

Sesampainya mereka di kantin, hampir semua meja diisi oleh siswa maupun siswi. Bahkan, Elang beserta teman-temannya juga ada disana. "Kayaknya, yang masih kosong di pojokan sebelah sana. Tepat di belakang geng nya si Elang."

Benar juga apa yang dikatakan oleh Echa. Hanya meja itu saja yang masih kosong. Karena tak ada pilihan lain, akhirnya, mereka semua menuju meja yang ada di pojok kanan.

Seharusnya Echa yang memesankan makanan seperti biasanya. Tapi, kali ini Dara yang akan memesankan makanan. Awalnya mereka mencegahnya, tapi, Dara tetap bersikeras. Mereka pun akhirnya mengizinkannya.

Entah mengapa, Vey memiliki firasat buruk. Sedari tadi ia hanya bungkam. Tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.

"Vey, kok dari tadi diam mulu, sih? Muka lo kayak gelisah gitu. Ada apa?"

Vey memalingkan wajahnya ke arah Echa. "Gue juga nggak tau, Cha. Dari tadi, gue mikirin Dara terus. Gue punya firasat buruk tentang dia." Ucapnya seraya menidurkan kepalanya di atas meja.

Nilla, yang sedari tadi memainkan handphone nya, kini memalingkan pandangannya ke arah Vey. Ia tak sengaja mendengar omongan Vey tadi. "Jangan bercanda deh, Vey." Ucapnya seraya memasukkan Iphone nya ke dalam saku seragamnnya.

"Gue nggak bercanda, Nil. Gue ser—" ucapan Vey terpotong, karena mendengar suara kegaduhan di tengah-tengah kantin. Mereka bertiga mengalihkan pandangan.

Mereka terkejut saat mengetahui siapa yang membuat kegaduhan. Hingga bola mata mereka membulat sempurna.

"Kalau jalan liat-liat dong, bego! Lo punya mata, kan?!" amarah Elang sudah berada di puncaknya. Mata nya mengintimidasi ke arah seorang sisiwi yang tidak sengaja menabraknya, hingga minuman yang dipegang oleh siswi tersebut tumpah ke seragam Elang.

"Lo punya mulut buat ngomong, kan? Oh, atau lo emang nggak bisa ngomong? Tepatnya, bisu?" Siswi tersebut menundukkan kepalanya takut seraya menggelengkan kepalanya. "Kenapa lo diam aja?"

Elang melihat name tag yang ada di seragam siswi itu. Tertawa sinis. "Oh, jadi nama lo Dara? Gue harus beri lo pelajaran!" Elang tersenyum miring. Lalu ia mengambil minuman milik siswa lain yang ada di sebelahnya. Ia mengangkat minuman itu, hingga tepat berada di atas kepala Dara. "Lo emang pantes diginiin!"

ContritioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang