00.07

28 12 3
                                    

"Senja juga mengajarkan yang indah akan tenggelam. Tergantikan menjadi malam bersama dengan kelam."

~o0o~

Selepas pulang sekolah, Dara berdiri mematung di tempat parkiran. Pandangannya kosong. Kedua tangannya mengepal kuat. Ingin menangis tapi untuk apa? Nasibnya memang sudah begini.

"Duh, kasian banget, sih! Sepedanya udah ancur masih aja dipake. Dasar miskin!"

Dara berbalik badan menghadap Elang. Raut wajahnya meminta penjelasan.

Elang yang mengerti pun hanya menaikkan alis sebelah. Lantas tersenyum miring. "Tanpa gue jelasin, lo juga udah tau, kan?" kedua tangannya bersedekap dengan kakinya yang menyilang. "Langsung intinya aja, deh. Lo bawa duit, kan?"

Dara mengangguk. "Nah! Siniin duitnya," tangannya terulur. Tepat didepan wajahnya. Dara meneguk salivanya samar. "Nggak mau kasih, nih?"

Cepat-cepat Dara memasukkan tangannya ke dalam saku, lalu menarik tangannya keluar seraya memegang selembar uang lima ribu.

Dengan senang hati Elang menerimanya. Ia juga mati-matian berusaha menahan tawanya yang akan meledak. Beneran miskin nih anak!

"Makasih, loh!"

Setelah mengucapkan terima kasih, Elang melenggang pergi tanpa memikirkan nasib Dara.

Dengan berat hati Dara pulang berjalan kaki dari sekolah menuju rumahnya sambil membawa sepedanya yang hancur tak terbentuk.

~o0o~

"Setengah tujuh. Tumben. Ada apaan nih, Lang?" Elang hanya menanggapi pertanyaan tersebut dengan tersenyum manis. "Ada penyemangat baru ceritanya, nih?" godanya dengan menaik turunkan alisnya.

Dan lagi-lagi Elang tidak menjawab pertanyaan dari Fajar. Melainkan ia pergi keluar kelas untuk mencari seseorang. Ia pun menyusuri koridor.

Seperti biasa, jika dirinya bertemu dengan seorang siswi, ia selalu mengedipkan sebelah matanya. Bermaksud menggoda.

Lain dengan siswi yang digodanya, justru mereka tersenyum malu-malu, pipinya bersemu merah—bahkan ada yang baper! Sungguh hebat sekali seorang Elang.

Dilain sisi, Dara berjalan lesu di koridor dengan kepala yang ditundukkan. Ia sedang mencoba untuk menghindari seseorang yang membuat hidupnya tak tenang. Tapi sepertinya, keberuntungan tidak berphihak padanya. Karena orang yang tengah ia hindari malah sedang berlari ke arahnya seraya melambai-lambaikan tangannya.

Dara hendak berbalik, namun apa daya? Ia kalah cepat dengan Elang. Ia pun pasrah dan membalikkan badannya seraya tersenyum kaku.

"Akhirnya ketemu lo juga," Elang berusaha menormalkan nafasnya yang tidak beraturan akibat berlari. "Susah banget, sih, nyari lo. Gue mau ngomong sesuatu." ucapnya lagi diiringi seringaian kecil.

Dara mengeluarkan pulpen dan buku kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Dara mulai menulis apa yang ingin ia katakan kepada Elang. Setelah selesai menulis, ia pun mengulurkan bukunya kepada Elang.

"Kamu mau ngomong apa?"

Elang membaca tulisan itu dengan senyuman yang sulit diartikan. "Yakin, nih?" Dara mengangguk. "Karena lo udah anggukin kepala, gue harap lo nggak nyesel. Dan juga, lo harus janji buat nurutin kata-kata gue."

Elang menatap manik Dara sekilas. "Gue mau, lo jadi babu gue. Itu artinya, lo nggak boleh ngebantah apapun yang gue suruh. Pulang sekolah nanti, lo ke kelas gue. Gue tunggu."

ContritioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang