Aku terus mengunyah jagung bakar untuk melampiaskan kesalku. Dengan air mata yang masih bercucuran. Haruskah sepedih ini yang namanya cinta?
"Kau tau? Jagung bakar biasanya rasanya manis. Tapi sekarang menjadi asin gara-gara kau terus menangis," Ucap Leo.
Aku hanya melirik ke arahnya.
Ya tadi tak sengaja aku berpapasan dengan dia. Tiba-tiba saja dia meminta ku untuk melayaninya. Bukan pelayanan yang berat. Dia memintaku untuk membelikan dua jagung bakar. Satu untuknya dan satu untukku.
"Berhentilah menangis! Cengeng!" Ejek Leo.
"Memangnya tau apa kau tentang perasaan?" Tanyaku.
"Lebih tau daripada kau," Jawabnya.
"Cih, memang kau punya perasaan dengan hobimu yang suka membunuh itu? Bahkan aku rasa kau tak punya hati," Ejekku.
"Hidup bukan hanya perlu perasaan. Tapi juga logika. Lagipula seharusnya kau sadar diri. Kau itu siapa, Dia itu siapa!"
Leo mendekatkan wajahnya padaku. Mungkin jarak antara wajah kita hanya 5 cm.
"Begitu banyak perbedaan diantara kalian. Dia itu tampan, dan kau itu jelek. Dia itu kaya, dan kau itu miskin. Bukankah begitu?" Bisik Leo. Seringainya yang mengejek ia tampakkan.
"Belikan lagi!" Perintah Leo.
Ia mengacungkan uang seratus ribu.
"Kembalian yang tadi masih ada," ucapku.
"Itu bukan hakmu. Aku sudah memberikan padanya," jawabnya.
"Sombong," Ejekku.
Aku berdiri hendak membeli jagung bakar lagi.
"Tanpa kembalian!" teriak Leo.
Yah begitulah, pada pembelian pertama dia juga memberiku uang seratus ribu. Hanya membeli dua jagung bakar. Tapi Leo tak mau ada kembalian. Dan sekarang ia meminta hal yang sama. Apakah pemborosan itu tidak termasuk sombong?
"Ini!"
Aku menyerahkan jagung bakar tadi ke Leo.
"Makanlah!" ucapnya.
Aku masih berdiri dengan tatapan bingung.
"Bukankah orang patah hati akan lebih suka banyak makan? Lagipula kau pasti jarang membeli makanan seperti itu, karena uangmu untuk bayar kos. Benar begitu bukan?" Ejek Leo.
Aku sungguh tidak mengerti dengan anak satu ini. Antara berbaik hati atau hanya sekedar ingin memgejek tak ada bedanya. Yasudah lah lumayan juga dapat makanan gratis. Lumayan juga untuk melampiaskan sakit hati.
"Bagaimana kalau kita melakukan sebuah permainan?" Tanya Leo.
Aku menghentikan kunyahan ku. Menatap ke arah Leo.
"Permainan apa?" Tanyaku.
"Suatu permainan yang seru tentunya," Jawab Leo.
Ia menatap bulan dengan senyuman yang indah. Astaga apa yang barusan aku pikirkan. Psikopat ini tak pantas dikatakan memiliki senyuman indah. Ia lebih pantas dikatakan memiliki senyuman picik.
"Yasudah. Aku tidak mau mengikuti permainan mu itu. Pasti hubungan nya dengan pembunuhan,"
"Jika kau bisa menang dalam permainan ini, kau akan ku bebaskan. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Seketika aku merasa mendapatkan hadiah emas. Sebuah kemerdekaan jika aku menang.
"Sungguh?" Tanyaku dengan mata berbinar.
"Besok jam 08.00, datanglah kemari!" kata Leo.
"Tapi permainan apa itu?" Tanyaku lagi.
"Besok kau akan tau," Jawabnya.
Yah tidak apa-apa tidak diberi tahu sekarang. Setidaknya aku mempunyai harapan untuk bebas.
"Kalau boleh tau, apa alasan mu suka membunuh orang?"
Entah apa yang ada dipikiran ku. Tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja. Tapi tiulah pertanyaan yang selama ini aku pendam.
"Untuk menegakkan keadilan," jawab Leo.
"Keadilan? Keadilan apanya? Sementara kau sendiri tidak bersikap adil. Kau selalu mengambil hak hidup orang lain. Lebih dari kata keterlaluan," protesku.
"Orang jahat pantas untuk diberantas. Seharusnya kau bersyukur. Dengan kehadiran ku di negara mu ini, banyak orang jahat yang sudah berkurang," ucap Leo dengan bangganya.
"Kau yang jahat, tapi mengatakan orang lain jahat. Seharusnya kau yang diberantas tapi kau masih bisa hidup berkeliaran. Kau itu bukan memberantas kejahatan, tapi siapapun yang kau anggap mengusikmu pasti akan kau bunuh," ucapku dengan kesal.
Leo menatapku lekat-lekat.
"Itu benar," kemudian ia mendekatkan wajahnya padaku, seraya berbisik. "Dan sebagai bahan latihan."
Senyuman nya semakin merekah. Senyuman seorang psikopat.
Dasar gila. Kalau aku terus berada disini aku akan keturalan dia. Batinku.
"Aku mau pulang."
Aku langsung berdiri dan pergi meninggalkan Leo tanpa menunggu persetujuannya.
Aku bisa merasakan ada seseorang yang sedang mengikuti. Hingga membuatku membalikkan badan.
"Kenapa?" tanyaku pada Leo.
"Bodoh. Bahaya malam-malam jalan sendiri," Ucapnya.
Leo melemparkan jaketnya keatas kepalaku. Lalu berlalu mendahului ku yang masih memasang wajah cengoh.
Anak itu benar-benar sesuatu. Batinku.
Tolong aku butuh penyemangat buat nulis😣
Oh ya terimakasih ya buat kalian yang udah support aku
Udah baca cerita gabutku
Terimakasih banyak buat kalian
Love you
Maaf
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIGU
FantasyHaruskah ku kasihi musuhku dengan membalutkan selimut padanya? Terjebak rana ambigu dalam selimut lembut Membuatku memilih meremas waktu dalam genggamanku Hingga waktu takkan mampu berkutik lagi