"Cepat!"
Semua pelayan yang ada dikamar Anetha tergopoh-gopoh. Mereka membawa koper-koper Anetha menuju bagasi mobil.
Anetha mengizinkan mereka naik lift pribadinya."Kecepatan tinggi pak!" pinta Anetha pada sopirnya.
"Akan saya usahakan nona," jawab sopir itu.
"Kan sudah bibi bilang. Jangan begadang neng," ucap bi Yuni disampingnya.
"Saya tidak bisa tidur bi. Bukan berniat begadang," jawab Anetha.
"Tapi-"
Anetha menutup kedua telinganya. "Sssst. Aku tidak ingin bicara. Ini masa darurat."
Bi Yuni hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan nonanya.
***
Semua orang sudah menunggu. Entah sudah berapa lama Anetha telat datang. Wajah guru-guru mulai gelisah, sembari sesekali melihat jam tangannya. Sama dengan gelisahnya Maura. Ia berulangkali mencoba menelpon Anetha, namun tidak kunjung diangkat.
Sementara, semua teman-teman angkatan Anetha menekuk wajahnya. Menyalahkan Anetha secara terang-terangan. Memang siapa yang tidak kesal jika mereka molor hanya karena satu anak? Mungkin Maura, Leo ( karena sikapnya yang selalu tidak peduli), dan guru-guru yang mau bersabar.
Sebuah mobil hitam berhenti di dekat bus bernomor 9, bus kelas Anetha. Semua pandangan tertuju pada mobil itu.
***
Anetha turun dengan tergesa-gesa. Diikuti oleh bi Yuni dan sopirnya. Mengeluarkan koper dengan tergesa-gesa. Anetha mengatur napasnya. Ia melihat wajah orang-orang. Semua orang menatapnya. Mungkin siap menghakiminya.
Maura mendekat ke Anetha dengan wajah panik juga terkejut. Ia memberi isyarat kepada Anetha. Namun Anetha tak begitu mengerti.
"Tatha!" bisik Maura penuh penekanan.
Anetha mengangguk.
"Maaf saya telat," ucap Anetha.Anetha menunggu reaksi orang-orang. Namun tetap tak ada yang berkutik. Semua ekspresi orang-orang aneh. Apakah ia salah ucap? Ah padahal Anetha pikir Maura tadi memberinya isyarat untuk meminta maaf. Rupanya salah.
"Tatha itu..," bisik Maura.
Anetha mengernyit penasaran.
"Itu apa?""Itu," jawab Maura sambil meraba wajahnya sendiri.
Anetha ikut meraba wajahnya sendiri. "Itu?"
Setelah sekian detik Anetha mulai menyadari. Ia melihat penampilannya dari atas hingga bawah. Oh tidak, celakalah. Anetha dan Maura saling tatap. Tidak dapat berkomentar apa-apa.
Bi Yuni memegang tangan Anetha. Rupanya ia juga baru menyadari sesuatu.
"Neng!" bisik bi Yuni.
Anetha mengangguk. Kemudian melepaskan pegangan bi Yuni. "Tidak apa-apa."
"Grace apa yang kau lakukan disini?" seru Reno yang sedari tadi sudah penasaran. "Kau bukan murid sini kan?"
Anetha menatap Maura. Tatapan yang memohon bantuan. Tetapi Maura menggeleng, tanda bahwa ia tidak bisa membantu.
"Kita sudah cukup telat anak-anak. Alangkah baiknya kita segera berangkat," ucap seorang guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIGU
FantasyHaruskah ku kasihi musuhku dengan membalutkan selimut padanya? Terjebak rana ambigu dalam selimut lembut Membuatku memilih meremas waktu dalam genggamanku Hingga waktu takkan mampu berkutik lagi