Rumah Anetha

167 9 4
                                    

Sesuai dengan janji minggu lalu. Akhirnya hari Minggu tiba juga. Maura duduk di bangku belakang. Ditangannya terdapat kertas bertuliskan sebuah alamat. Matanya terus menatap kertas itu. Beberapa kali melihat keluar jendela dengan wajah bingung.

"Ini benarkan pak jalannya? Kita tidak salah arahkan?" tanya Maura pada supirnya.

"Iya benar disini neng," jawab pak Kamang.

"Tapi kok rasanya aneh ya pak," Maura menggigit jarinya. Berpikir dengan keras.

"Aneh bagaimana neng?" tanya pak Kamang.

"Ini tuh sepertinya kawasan rumah-rumah mewah. Teman sayakan tinggalnya di desa," jelas Maura.

"Mungkin hanya lewat saja neng. Lagipula semakin kesini semakin banyak perkebunan. Mungkin rumah teman neng Maura itu diperkebunan," kata pak Kamang.

"Benar juga. Aku pikir rumahnya banyak persawahannya,"

Mobil berhenti di alamat tujuan.

"Pak yakin kita tidak salah alamat?" tanya Maura kesekian kalinya.

"Kalau menurut kertas itu ya alamatnya ini neng. Benar kok tidak salah," jawab pak Kamang.

"Apa mungkin Anetha ya yang salah nulis alamat?"

"Masa iya yang punya rumah lupa alamatnya sendiri neng," celetuk pak Kamang.

"Ya memang tidak mungkin. Tapi ini lebih membingungkan," kata Maura.

Entah untuk berapa kalinya Maura menatap kertas itu lalu ke rumah didepannya. Rumah dengan pintu gerbang yang sangat besar dan megah. Bahkan dari depanpun nampak bangunan yang menjulang didalam gerbang itu. Disisi kiri kanannya berdiri dua orang pria berseragam rapi. Topinya sama seperti seragamnya, berwarna hitam. Tangannya terbungkus sarung tangan putih. Dibahunya tersampir senapan. Tampak gagah seperti prajurit.

Seorang lelaki gagah dan tinggi. Berpakaian jas rapi. Kerahnya terpasang dasi kupu-kupu. Sama memakai sarung tangan putih. Ia mendekati mobil Maura. Maura membuka jendela mobilnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu.

"Emmm saya mencari rumah teman saya. Anetha. Apakah alamat ini benar?"
Maura memberikan kertas alamat itu kepadanya.

"Tentu saja benar," jawab pria itu memberikan kembali kertasnya. Ia mengeluarkan remote ukuran kecil. Terdapat banyak tombol pada remote itu. Pria itu menekan salah satunya, membuat gerbang menjadi terbuka sendiri.

"Silahkan masuk," ia mempersilakan.

Mobil Maura pun meluncur masuk. Halamannya begitu luas. Ia tidak yakin bahwa taman ini hanya milik satu rumah saja. Taman yang simetris, tertata rapi, dan indah. Begitu menakjubkan. Bahkan jalannya terbagi dua. Maura yakin bahwa jalan itu dimaksudkan untuk jalan masuk dan satunya untuk jalan keluar.

Ditengah-tengahnya terdapat air mancur. Dengan patung emas berbentuk seorang putri yang nampak begitu anggun.

Banyak orang-orang berseragam sedang sibuk. Untuk pria seragamnya sama seperti penjaga diluar tadi. Dan untuk perempuan pakaian mereka seperti baby sister. Namun pekerjaan mereka tak jauh dari kata pembantu. Mereka menyapu, membersikan kaca, memotong rumput, menyirami tanaman, dan pekerjaan lainnya.

Mobil berhenti di garasi. Garasi yang sangat luas. Sudah ada 20 mobil mewah yang terpakir. Maura keluar dari mobil. Masih memandang apa yang dilihatnya didepan ini dengan takjub.

"Menurut bapak ini tempat apa?" tanya Maura.

"Saya tidak tahu. Apakah teman neng Maura bekerja disini? Atau orang tuanya yang bekerja disini?" tanya pak Kamang.

AMBIGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang