Putus

63 7 3
                                    

Hari-hari berlalu. Maura melihat Anetha seperti hari biasanya. Tidak seperti waktu ditemuinya di rumah Anetha. Hari-hari dimana ia dipandang miskin dan menjadi korban bully. Benar-benar berbeda dari Anetha waktu itu.

Meskipun Maura mulai terbiasa dengan rahasia Anetha, namun nyatanya Maura sekarang menjadi sedikit canggung kepada Anetha.

"Pagi," sapa Anetha.

Maura tersenyum pada Anetha. "Pagi juga."

Anetha mengambil duduknya disamping Maura. Seperti biasa Maura tidak bisa berhenti menatap wajah Anetha. Dibalik wajahnya yang menjadi korban bully itu ada wajah bidadari. Yang membuat Maura kagum akan kecantikannya.

"Ada apa?" tanya Anetha yang sadar diperhatikan Maura.

Maura sedikit gelagapan. "Ah tidak. Tidak apa-apa. Umm Tatha, apa kau sudah menentukan akan berkuliah dimana?"

"Yah aku sudah menentukannya. Kau sendiri?" tanya Anetha.

"Sudah. Aku akan berkuliah di Indonesia. Orang tuaku melarang ku untuk berkuliah di luar negeri. Karena aku anak tunggal, jadi mereka tidak bisa melepasku begitu saja. Padahal aku sangat ingin berkuliah di luar negeri," jelas Maura.

"Memangnya kau ingin berkuliah dimana?" tanya Anetha.

"Aku sangat ingin berkuliah di Oxford," jawab Maura.

"Cita-cita yang bagus."

"Terimakasih. Jadi kau akan berkuliah dimana?" tanya Maura.

"Aku akan mengambil kuliah di Belanda," jawab Anetha.

Maura terdiam mendengar jawaban Anetha. Sekilas rasanya tak mungkin Anetha berkuliah di luar negeri. Namun mengingat siapa Anetha sebenarnya, sepertinya hal itu tidak perlu diragukan.

"Oh. Itu bagus."

Jujur saja ada rasa iri kepada Anetha. Ia bisa berkuliah di tempat yang ia mau. Sedangkan Maura? Hanyalah anak kecil yang selalu dimanjakan. Yang justru membuat ruang gerak Maura terbatas.

"Aku mau ke toilet sebentar. Tolong izinkan kepada guru jika aku belum datang," pamit Anetha.

"Oke," jawab Maura.

Maura tidak bisa berhenti bertanya-tanya pada dirinya. Semenjak Anetha memberitahukan secuil rahasianya, semakin besar rasa penasaran Maura pada Anetha. Dan sekarang apalagi? Anetha akan berkuliah di Belanda?

Memang untuk apa ia berkuliah disana? Jika orang tuanya saja berada di Perancis mengapa ia tidak berkuliah di Perancis saja? Lantas jika ia sudah berkuliah di Belanda, apakah identitasnya akan sama seperti Anetha saat ini? Sebenarnya untuk apa ia menutupi jati dirinya? Menemukan seseorang? Siapa?

"Aku lupa membawanya," Maura bermonolog.

Menghentikan melamunnya. Kini ia sedang mencari spidol untuk mewarnai gambarnya. Rupanya memang tidak dibawa.

"Tatha aku pinjam spidolmu," Maura meminta izin kepada Anetha meskipun ia tidak berada disitu, dan menjawabnya sendiri. "Oh tentu. Ambil saja semaumu."

"Baiklah."

Maura meraba laci Anetha. Tangannya merasakan tempat pensil spidol Anetha. Ketika ia tarik keluar tak sengaja mengenai buku Anetha. Maura melihatnya, buku itu terbuka. Ia mengambil dan menutupnya.

Namun detik berikutnya ia terdiam. Memandang buku itu. Buku harian Anetha. Tidak, Maura tidak penasaran dengan buku harian Anetha. Tetapi ia penasaran mengapa nama pacarnya berada di buku itu. Ketika buku itu terbuka, Maura tak sengaja menemukan nama Reno pada halamannya.

Maura melihat ke sekeliling. Memastikan keberadaan Anetha. Masih aman. Maura menimbang-nimbang, apakah ia akan membacanya atau tidak. Sudahlah, ia tidak peduli dengan kelancangan. Rasa penasarannya jauh menguasainya. Itu salah Anetha sendiri yang menyimpan rahasia terlalu banyak. Dan kini adalah kesempatan Maura untuk mengetahui sedikit rahasia Anetha yang lain.

Maura membaca dengan cepat. Napasnya ikut memburu. Ia sadar pada waktu yang tepat ketika Anetha berjalan masuk kelas. Ia menutup buku harian itu dan memasukkannya ke dalam laci.

"Belum ada guru?" tanya Anetha.

"B-B-Belum," jawab Maura.

Anetha menatap Maura sedikit curiga.

"Kau kenapa?" tanya Anetha.

"Tidak apa-apa," jawab Maura dengan napas tak teratur. Maura berusaha untuk mengatur napasnya kembali.

"Ada yang kau sembunyikan?" sudut Anetha.

"Tidak. Ummm tadi kupikir aku melihat kecoa," alasan Maura.

"Kecoa? Mana mungkin ada kecoa disini," jawab Anetha tak percaya.

"Sudah ku bilang mungkin."

Maura lega karena gurunya sudah datang. Tidak akan ada kesempatan lagi untuk Anetha bertanya-tanya lebih jauh.

***

"Hei ada apa?" Sapa Reno. "Padahal kita bisa bicara sepuasnya nanti sepulang sekolah."

"Tidak bisa. Kita harus bicara sekarang," jawab Maura.

Maura bahkan tak sanggup untuk sekedar menatap Reno. Reno merasa pembicaraan ini akan serius.

"Ada apa?" tanya Reno dengan lembut.

Maura masih tetap tidak mau menatap Reno. Ucapannya yang begitu lembut justru membuat hatinya semakin teriris. Ia menarik napas panjang. Membuangnya secara perlahan.

"Aku ingin putus," ucap Maura to the point.

"Apa? Apa aku salah dengar?" tanya Reno terkejut.

"Aku akan mengulanginya sekali lagi. Jadi dengarkan baik-baik!" Maura memberi jeda. Kemudian mengatakannya dengan jelas. "Aku ingin kita putus."

"Apa? Tapi kenapa?" heran Reno.

"Ya pokoknya aku ingin kita putus," kesal Maura.

"Bisa kalau bicara menatap lawan bicaranya agar sopan?" sindir Reno yang sudah tersulut emosi.

Maura memberanikan diri untuk menatap Reno. Rasanya semakin sakit. Tetapi ia harus kuat.

"Apa alasan kamu ingin kita putus?" tajam Reno.

Maura mengepalkan kedua tangannya, mencoba untuk kuat. Sebenarnya ia tidak ingin seperti ini. Tetapi memang harus.

"Tidak perlu alasan."

"Tidak ada alasan tetapi tiba-tiba ingin putus? Apa maksudmu?" kesal Reno.

"Apakah untuk putus selalu memerlukan alasan?" nada bicara Maura semakin tinggi.

"Tentu!" Reno pun tak kalah meninggi.

"Baiklah. Kalau maumu adalah sebuah alasan. Akan ku buatkan alasan untukmu," ucap Maura penuh penekanan. "Dari awal aku tidak punya rasa sama sekali denganmu. Aku hanya iba karena kau selalu mengejar-ngejar ku."

Reno mengepalkan kedua tangannya. Urat-urat ototnya menjadi terlihat jelas.

"Iblis. Perempuan iblis," ucap Reno dengan penekanan.

Maura menyeringai mendengar cacian Reno.

"Baru tau ya? Iya, aku adalah perempuan iblis yang bisa menjatuhkan siapa saja. Termasuk dirimu," ejek Maura.

Maura pergi dengan menabrak bahu Reno. Meninggalkan Reno dengan penuh luka dan kebencian.



















Terimakasih untuk dukungannya!🙏🏻

AMBIGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang