The Last

2.8K 241 6
                                    

Hari ini, hari terakhir persiapan pernikahan Amanda dan Ben. Besok adalah hari besar mereka. Amy harus memastikan semuanya berjalan lancar. Nanti malam mereka akan berkumpul di Club. Mereka akan bernyanyi, menari dan juga menampilkan slide kebersamaan mereka. Kebersamaan Amanda dan Ben sampai hari ini. Amy sudah memberikan file nya kepada kekasih Yola untuk diputar nanti malam.

Hari ini juga dia akan bertemu Amanda dan berbicara banyak hal. Semalam dia dihubungi oleh Claire. Wanita itu terdengar marah dengan bicaranya yang bernada tinggi. Amy tidak dapat berbicara apa pun. Dia hanya diam mendengarkan Claire berbicara.

Langkah kaki kecilnya dia bawa menuju dimana sahabatnya itu menunggunya. Raut wajah cantiknya terlihat tidak bersemangat. Mata itu sedikit sembab karena semalam setelah Claire menghubunginya dia menangis. Hatinya terasa sakit. Beruntunglah ada Amanda yang datang setelah dia hubungi. Pelukan sahabatnya itu menenangkannya. Hingga dia bisa terlelap tidur.

" Hai, Amy." Lambaian tangan Amanda dengan senyum ramah terlihat. Segera saja gadis itu menghampirinya.

" Merasa lebih baik sayang?" Tanya Amanda penuh perhatian, Amy menatap sahabatnya itu.

" Duduklah. Sudah aku pesankan coklat hangat untukmu. Lalu berceritalah perlahan."

Amanda memandang Amy yang kini duduk disebelahnya. Dia mengangsurkan segelas coklat hangat kehadapan gadis itu. Amy menerimanya dan meminumnya perlahan.

" Apa kau percaya pada Claire?"

Amanda mulai membuka pembicaraan setelah dilihatnya Amy hanya terdiam.

" Dia teman terbaikku, seperti dirimu." Jawab Amy pelan.

" Berarti dia menyayangimu sama sepertiku, betul begitu?" Tanya Amanda lagi yang diangguki Amy.

" Lalu..?"

Amanda memandang Amy meminta jawaban. Amy hanya menggeleng lalu menunduk sedih.

" Entahlah Amanda, aku bingung. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulut Dex." Ucapnya lirih.

" Sampai kapan, Am. Bahkan selama kau disini, tidak pernah sekali pun dia menghubungimu. Aku yakin kemarin kemarin pun kau yang harus menghubunginya terlebih dulu dan dia selalu sibuk dengan pekerjaannya itu, atau rekan bisnisnya atau client nya. Lalu kau tidak pernah tahu sejauh mana hubungan mereka kan. Am, bahkan kau selalu menjaga dirimu dan tidak pernah terjamah. Apa Dex itu tahan dengan cara pacaranmu?"

Amy tergugu. Dia tidak mempunyai jawaban untuk semua pertanyaan dan pernyataan dari sahabatnya itu. Seperti semalam ketika Claire pun berucap yang sama. Dia hanya terdiam.

" Amy, aku menyayangimu. Aku ingin kau bahagia, Am. Coba tanyakan hatimu, apakah kau bahagia dengan Dex selama ini. Apakah kau merasa nyaman?"

Amy semakin tak mampu menjawab, dia tertunduk dengan air mata yang sudah menghiasi mata dan mengalir ke pipinya. Amanda kini mengusap kepala Amy penuh sayang.

" Dengar Am, kau punya kami untuk berbagi. Jangan kau selalu sendiri dengan semua masalahmu itu. Kau selalu menenggelamkan diri dengan kesibukanmu bersama pasien pasienmu itu. Tapi aku tahu kau tidak bahagia, Am."

Amanda merengkuh bahu sahabatnya itu lalu membawanya ke dalam pelukannya. Pelukan seorang sahabat yang membuatnya nyaman dan tenang. Dia menengadah menatap Amanda. Air mata masih merebak tak terbendung.

" Amanda, kenapa Amy menangis?"

Suara khawatir mengusik mereka. Di sana berdiri sosok tinggi dengan wajah cemas. Pemilik mata hazel dan rambut brunnet itu menatap Amanda dan Amy bergantian. Mata hazel itu diliputi binar sedih yang kentara. Amanda menangkap itu dengan jelas. Dengan tersenyum dia mendekatkan mulutnya ke telinga Amy.

" Pernahkah Dex seperti ini, Am?"

Pertanyaan itu di dengar jelas oleh telinga Amy dan membuatnya membeku. Dia bergeming. Amanda mengusap pelan pundaknya.

" Amy, aku harus menemui calon suamiku dan kau, Eric. Tolong buat sahabatku ini tersenyum ceria. Dia sudah terlalu lama bersedih dan menangis. Buatlah ini yang terakhir."

Amanda meninggalkan mereka berdua. Amy sedikit canggung dengan tatapan Eric yang seolah menelitinya. Dia berusaha untuk menghindarinya tapi pria itu memegang dagunya lembut, membuatnya menengadah menatap wajah di depannya.

" Aku bilang, aku tidak suka melihatmu menangis. Hatiku terasa sakit, Am. Jadi berhentilah menangis."
Ucapnya pelan sambil tangannya mengusap air mata yang mengalir di pipi gadis itu.

Amy menatap pria itu. Dia berusaha untuk mengembangkan senyumnya. Walaupun terlihat terpaksa tapi cukup membuat Eric tersenyum lega.

" Kau terlihat lebih cantik jika tersenyum, Am."

Dan Amy pun mengembangkan senyumnya lebih lebar. Eric terlihat senang dengan mata berbinar.

" Tinggallah disini. Disisiku. Aku akan membuatmu selalu tersenyum. Aku janji." Ucapnya meyakinkan.

Bibir pria itu mendarat mulus dibibir cantik yang mengukir senyum itu. Mereka meleburkan rasa bahagia dalam setiap decapannya.

The Wedding Lover ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang