7. Pria Seandainya

421 20 0
                                    

Dasar pria bego, karna wanita ini ia bertengkar dengan Marsha. Keinginan awalnya adalah meluruskan kejadian kemarin, dengan menyuruh Lara menjauh darinya. Tentunya, ia mengutarakan itu semua dengan cara halus. Tapi, malah beralih menenangkan gadis yang menangis tak karuan saat ini.

"Aku cuman mau temenan sama kakak kok, nggak ada maksud lain". Sembari menghapus air matanya yang terus mengalir.

"Salah yah aku temenan sama kakak, kayaknya iya aku aja salah hidup di dunia ini". Lara menatap rerumputan hijau itu sendu.

"Salah yah kalau aku punya keluarga bahagia, boleh ngggak aku ngarep seandainya papa aku adalah pria hangat yang menyayangi para anaknya, bukan pria pejudi yang tengah mendekam dipenjara". Kini ia beralih menatap awan cerah yang berbanding terbalik dengan hatinya yang kelabu.

"Salah juga yah, kalau aku ngarep punya ibu yang mencintai anaknya sepanjang masa, bukannya ibu yang malah tak ingin melihat anaknya sepanjang masa hidupnya". Lara menggigit bibir bawahnya, suaranya sudah benar-benar serak.

"Bahkan abang aku sendiri adalah pemabuk berat yang rela ngejual adiknya sendiri hanya demi berpuluh-puluh botol minuman keras".

Alucard bingung, ia tak tahu harus berbuat apa. Kehidupan gadis ini benar-benar berat ia tak rela menyakitinya. Tapi, ia juga tak rela hubungannya kandas dengan Marsha hanya karna gadis baru dikehidupannya ini.

"Boleh aku meluk kakak, buat nenangin diri".

Sungguh, Alucard benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin kan, ia membiarkan gadis lain memeluk dirinya selain Marsha.

Sadar akan tingkah Alucard yang seakan menolak dirinya, ia pun memalingkan wajah berusaha menahan seluruh rasa sakit ini.

"Memang benar ya... aku nggak pantas buat bahagia". Lirih Lara.

Alucard benar-benar tak tega melihat gadis ini. Ia pikir tak apa membiarkannya bersandar di bahunya untuk beberapa detik tapi untuk dipeluk ia tak ingin karna hanya Marsha yang boleh.

"Sini nyender di bahu gue".

Lara pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, ia pun langsung mendaratkan kepalanya ke bahu kiri Alucard. Berusaha menghirup wangi maskulin pria di sampingnya, menangkap seluruh rasa nyaman yang ia rasakan, membiarkan waktu mengikis sisa tangisnya.

                             ~oOo~

"Ini apa?".

Alucard membulatkan matanya sempurna, siapa yang diam-diam mengambil foto ini!.

"Aku bisa jelasin Sha".

"Apa". Lirih Marsha berusaha mengontrol tangisnya yang ingin segera meluncur bebas dikedua pipi.

"Si Lara tadi nangis, dia ceritain tentang keluarganya yang hancur, aku nggak tega liatnya, dia bilang pengen meluk buat nenangin diri tapi nggak aku ijinin, tapi aku ijinin dia nyender di bahu aku sekedar nenangin diri".

Itu adalah penjelasan yang cukup panjang untuk seorang Alucard yang lumayan irit dalam bicara. Ya, dapat kita nilai sendiri bahwa Alucard benar-benar menyayangi Marsha, ia menceritakan seluruh faktanya tanpa kebohongan sedikit pun berharap kejujuran itu bisa berhadiah penerimaan maaf dari Marsha.

"Kamu nggak tega liat dia nangis sementara kamu tega liat aku nangis".

Marsha sudah tak tahan lagi, air matanya jatuh tanpa ampun. Ya, Marsha tahu maksud Alucard baik, tapi kenapa harus dia biarkan bahunya menjadi sandaran kepala Lara. Jika cewek genit itu butuh sandaran pergilah ke ruang BK sana! Bukan pacarnya. Lagipula cewek itu juga bisa mengeluarkan keluh kesahnya disana tetapi kenapa malah curhat kepacarnya.

"Ini semua berawal dari game sialan itu". Teriak Marsha kesal.

"Seandainya kamu bukan anak gamers yang gila akan rank sampai lupa pacarnya sendiri, seandainya kamu bukan cowok gamers yang tiba-tiba deket sama Lara karna hanya sebuah pembahasan game konyol itu, seandainya---".

"Jika kamu berharap aku cowok SEANDAINYA kamu itu, aku nggak bisa Sha".

Alucard menatap sendu Marsha. Jadi selama ini, gadisnya tak menyukai sosoknya yang seperti ini. Apa ia tak cukup sempurna bagi Marsha. Tunggu ia pikir, ia tak perlu sempurna untuk menjadi seperti apa yang Marsha inginkan. Seharusnya Marsha menyukai dirinya apa adanya. Jika Marsha tak menyukai dirinya yang seperti ini ia akan mundur. Membiarkan Marsha mencari pria SEANDAINYA itu. Sungguh, apakah ini akhir kisahnya dengan Marsha. Benar-benar tak terduga.

"Sekarang aku izinin kamu cari pria seandainya kamu itu".

"Maksud kamu...". Sungguh Marsha tak menyangka. Awalnya ia hanya ingin memberi pelajaran kepada Alucard, tapi kenapa ini akhirnya.

"Ya, putus. Itu yang kamu mau kan?".

                               ~oOo~

"Udah Sha, lo jangan nangis kayak gini". Tutur Kyna.

"Ya gimana gue nggak nangis... gue cuman pengen ngasih pelajaran sama Alucard tapi...".

Isakan tangis semakin kentara terdengar ditelinga mereka. Kyna, Rara serta Chika berusaha menyalurkan energi penyemangat dengan sebuah pelukan hangat.

"Seharusnya lo juga lebih dewasa Sha, seharusnya lo ngomong sama Alucard apa penyebab lo marah-marah nggak jelas sama dia, bukannya dengan cara ngambek-kan nggak jelas kayak gini". Ujar Chika.

"Seharusnya dia peka dong!, kenapa gue tiba-tiba marah sama dia". Jawab Marsha.

"Dia bukan cenayang yang bisa tau isi pikiran lo Sha!, dia itu cowok lo". Timpal Rara yang setuju dengan perkataan Chika.

"Trus gue harus gimana...".

"Lo bilang sama Alucard kalo lo nggak mau putus sama dia". Titah Chika.

"Tapi kan gue udah jawab iya".

"Ya kenapa lo jawab iya padahal hati lo bilang tidak". Kini Kyna yang kian gemas dengan penuturan sahabatnya itu.

                                ~oOo~

"Kak nanti bisa anterin aku nggak?".

Lara harap-harap cemas menantikan bagaimana jawaban  Alucard. Berita tentang Alucard dan Marsha yang putus sudah menyebar ke seanteror sekolah. Itu adalah sebuah kesempatan! Kesempatan baginya bisa merebut hati Alucard.

"Kemana?". Jawab Alucard malas.

"Mau beli cake, soalnya hari ini abang aku ulang tahun".

Tidak, itu bukan sebuah alasan agar ia bisa pergi bersama Alucard, tapi itu memang fakta. Memang benar hari ini saudara satu-satunya itu berulang tahun, ia sengaja memberi kejutan kepada saudaranya itu. Yah, walaupun perlakuannya jauh dari kata saudara, tapi Lara tetap menyayanginya.

"Nggak bisa pergi sendiri ya".

Alucard saat ini benar-benar dalam mode malasnya, apalagi kemarin ia baru putus dengan Marsha. Aura kegalauan itu masih melekat pada dirinya.

"Tapi uangnya cuman cukup buat beli kue ulang tahun".

Itu baru namanya bohong. Uang dikantongnya dapat dikatakan cukup untuk membayar gojek dan membeli kue ulang tahun tersebut. Itu hanyalah sebuah alibi. Benar-benar hanya sebuah kebohongan guna mendapat perlakuan yang didambakan. Dasar!.

"Yaudah nanti tungguin gue diparkiran".

Ingin rasanya Lara berteriak kegirangan di gunung Himalaya yang tingginya dapat menembus awan. Alucard mau menemaninya!. Mimpi apa ia semalam?!.



Game Or MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang