Aku bisa mendengar suara-suara itu. Hilang, lalu terdengar kembali. Suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tepat di depan pintu, ia berhenti. Napas tertahan, saking gugupnya aku saat ini.
"Kak! Kakak!"
Aku hampir saja keluar dari persembunyian saat mendengar suara itu. Lalu berhenti, mengingat pesan Fuka. Aku menatap ke depan, ke arah pintu, tempat suara tadi terdengar.
"Kak, ini Fuka! Ayo keluar!"
Aku menahan napas lebih lama. Panggilan itu masih terdengar. Aku bisa melihat dengan bantuan cahaya lampu di luar kamar, dari bawah pintu, ada bayangan seseorang tegak berdiri di sana. Benarkah itu adikku?
"Kak, ini Fuka! Ayo keluar!"
Aku tak menjawab. Genggamanku di gelas berisi air garam, semakin menguat. Ingin rasanya aku membalas panggilan itu untuk memastikan.
"Kak, ini Fuka! Ayo keluar!"
Lama-lama suara itu terdengar aneh. Tidak normal layaknya manusia. Seperti rekaman yang disetel berulang-ulang. Ada nada tak wajar di sana. Jelas tidak mungkin itu adikku.
Sesaat setelah pemikiran itu menguasai, suara Fuka akhirnya tak terdengar lagi. Menyisakan aku kembali dalam keheningan yang mencekam. Berapa lama lagi?
Selain keadaan yang menakutkan, aku sepertinya akan kehabisan napas di sini. Kolong ranjangku memang tak terlalu tinggi. Hanya bisa digunakan untuk berbaring atau tengkurap saja. Saat keluar-masuk harus dengan posisi merayap. Jika lebih dari itu, bisa dipastikan kepala terantuk rangka tempat tidur ini. Dan aku, terperangkap di sini, setengah menyesal, kenapa tidak pernah kepikiran untuk membersihkan bagian ini.
Debu dan kotoran ini benar-benar menyebalkan. Aku terbatuk dan bersin beberapa kali. Belum lagi kegelapan yang menyelimuti memperburuk keadaan, hanya menyisakan cahaya minim dari lampu samping rumah.
Aku yakin, sekeluarnya dari sini, tubuhku gatal-gatal dan membutuhkan mandi lebih lama.
Tok, tok, tok!
Aku menahan napas sekali lagi. Pintu diketuk dengan ritme pelan, tetapi keras. Aku membayangkan siapa yang melakukan hal itu di luar. Suara ketukan itu terdengar berulang kali. Makin lama semakin keras. Tak peduli seaman apa aku di sini, tetap saja bulu kuduk meremang tanpa bisa dicegah.
Selanjutnya, mungkin menjadi babak paling mencekam dalam hidupku. Bagaimana pintu terbuka perlahan, membuat mataku seperti dibelalakkan secara paksa. Napasku tersengal, mendengar langkah terseret-seret memasuki kamar. Aku memejamkan mata.
"Raga, Raga, Raga."
Suara itu seakan menggema memenuhi indra pendengaranku. Suara seorang wanita yang terdengar menyedihkan sekaligus menakutkan. Aku sampai menutup telinga dengan kedua tangan.
"Ketemu!"
Refleks aku menyemburkan air garam dalam mulut, membuat siapa pun itu menjerit histeris, melolong-lolong kesakitan. Aku seperti melekat di tempatku berada, tidak bisa bergerak. Lalu, suara-suara seperti benda terguling-guling, menggema.
Sontak, aku mengembuskan napas lega. Tangan dan kakiku pegal karena terlalu lama diam dalam posisi sama sejak awal. Aku menggerak-gerakkan anggota tubuh secara bergantian, lalu berganti posisi.
Namun, rupanya itu belum berakhir. Aku melongok keluar kolong ranjang, dan langsung disambut kepala dengan rambut menjuntai tepat di atasku.
"Aarggh!"
Aku beringsut kembali ke dalam. Memasukkan air garam ke mulut, lalu bersiap-siap menyemburkannya bila makhluk tadi berani mendekatiku. Beberapa saat kutunggu, tidak ada apa-apa. Aku menarik napas.
Rasa penasaran menggelitik, ingin mengecek keadaan di luar kamar, tapi segera kuurungkan. Derap langkah mendekati kamar, membuatku menahan napas.
"Kak!"
Aku kaget setengah mati, Fuka tiba-tiba menunduk tepat di hadapanku. Mengamatinya beberapa saat, melihat ia menggenggam gelas berisi air di tangannya, aku yakin dia betul-betul adikku.
Beringsut, aku keluar kolong ranjang, mengembuskan napas sekeras mungkin. Air garam di mulutku tertelan tanpa sadar.
"Apa sudah berakhir?" tanyaku.
Fuka menggeleng. "Justru itu. Kita harus menemukan hantunya."
"Apa?" Aku membelalak tak percaya.
Teror demi teror yang kulalui di bawah ranjang, ternyata bukan hantu Hitori Kakurenbo? Lalu, siapa mereka?
"Kakak harusnya tahu, saat kita memanggil satu entitas, maka makhluk lain mengikutinya. Makanya, permainan apa pun selama itu berhubungan dengan hal gaib, sebaiknya tidak dilakukan."
Aku mengangguk membenarkan. Ya, kami terlalu ceroboh hingga menyepelekan segala risiko yang ada. Kami gegabah, dan meremehkan hal yang justru bisa membahayakan nyawa.
"Kak, aku bisa ngerasain hawa kuat dari belakang. Tak terlalu kuat, tapi mungkin dia hantu yang kita cari."
Setengah terpaksa, aku mengikuti langkah Fuka hingga sampai di depan dapur. Gadis itu berhenti. Menatap ke depan dengan sorot yang sulit diartikan.
"Ada apa?" tanyaku.
"Dia ... di sana." Fuka menunjuk tepat ke pintu belakang.
Napasku tercekat. Aku memang tak bisa melihat sesuatu yang dimaksud Fuka, tapi aku bisa merasakan kejanggalan di sana. Daun pintu itu membuka dan menutup dengan sendirinya. Secara perlahan.
"Ayo!" Fuka menarik tanganku menghampiri tempat yang ia maksud.
"Kak, jangan lupa air garammu."
Aku mengangguk. Menelan sisa air garam di dalam gelas, mengikuti langkahnya.
"Kak, dengar! Kakak yang harus melakukan ini. Kakak semburin air garam itu ke arah yang aku maksud. Nanti Kakak bilang, kalo Kakak menang. Jangan sampai terlambat, atau dia ngilang lagi dan ritualnya dimulai dari awal."
Glek!
Aku menelan sedikit air garam lalu mengernyit saat merasakan asinnya. Perkataan Fuka mau tak mau membuatku gugup sekaligus tegang. Aku memejamkan mata, lalu menghela napas perlahan.
"Sudah siap?" tanya adikku.
Aku mengangguk. Kami berdua tepat berada di depan pintu belakang. Fuka memegang bahuku.
"Sekarang," bisiknya.
Aku menyemburkan air itu tepat di tepian daun pintu yang terus menerus bergerak, lalu berteriak, "Aku menang! Kau kalah!"
Pintu itu diam, tak lagi bergerak. Aku masih berdiri mematung. Fuka bersiaga dengan air garam di tangannya, berjaga-jaga kalau sampai siapa pun itu, menyerang kami. Sedetik, dua detik, tiga detik, tak ada apa pun, kami mengembus napas bersamaan.
Aku terduduk di kursi dapur dan merebahkan separuh tubuh di atas meja. Fuka bersandar di kursi dengan napas terengah-engah.
"Alhamdulillah. Akhirnya berakhir." Aku menggumam lega.
Fuka menegakkan tubuh. Dari tatapannya, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Ia mengedarkan pandangan, seperti mencari sesuatu. Please, jangan lagi!
"Apa?"
"Kak, ini belum berakhir. Kita harus nemuin boneka itu lalu membakarnya. Kalau tidak, hantu-hantu lain bakalan nempati boneka itu."
Aku nyaris berseru frustrasi. Mendengkus kasar. Lelah, kapan ini akan berakhir?
****
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
TerrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...