Kami tiba di rumah dengan lega. Badanku terasa pegal-pegal. Bahkan kakiku seperti mati rasa. Tidak pernah aku merasakan lelah seluar biasa ini. Ranjangku berderit saat aku mencoba bangkit, tapi gagal dan kembali rebah.
Kuembuskan napas panjang. Lega dan syukur luar biasa. Berakhir. Semua berakhir. Aku tidak akan pernah mau memainkan permainan itu lagi.
Fuka pasti sudah tertidur di kamar sebelah. Aku menatap jam dinding. Jarum pendek menunjuk angka tiga. Tidak mungkin aku bisa terpejam dalam waktu sesingkat ini. Sebentar lagi subuh dan aku harus bergegas karena ada kuliah pagi. Jadi, mungkin lebih baik mengistirahatkan tubuh sebentar barang sejam dua jam.
Aku baru terpejam saat mendengar bunyi-bunyi seperti orang mengetuk pintu. Aku membuka mata, mengernyit heran. Siapa yang bertamu dini hari begini?
Ketukan itu masih terdengar jelas. Malah semakin lama, semakin intens. Seperti seseorang yang terburu-buru atau punya keperluan penting. Dadaku berdesir. Tidak mungkin itu hantu Hitori Kakurenbo, kan?
Aku bangkit dari tempat tidur setelah ketukan itu berbunyi kesekian kalinya. Tepat saat aku keluar, Fuka sudah berdiri di depan kamarnya dengan mata menahan kantuk.
"Siapa malam-malam begini bertamu, Kak?" Fuka menguap malas.
Ia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum tertegun. Aku mengamati perubahan ekspresi di wajahnya.
"Kenapa?" tanyaku.
Fuka menggeleng. Ia balas menatapku. "Dia bukan hantu atau sejenisnya. Buka aja, Kak." Fuka mengangguk pelan.
Aku mengembus napas. Jujur, rasa takut dan trauma belum sirna sepenuhnya. Siapa yang tidak terbayang-bayang, jika sejam sebelumnya diteror hantu mengerikan?
Fuka berjingkat pelan di belakang, mengikutiku. Aku mengembus napas berkali-kali, meyakinkan itu bukan apa-apa, dan semuanya sudah berakhir.
Pintu kubuka. Menampakkan wajah Redi tepat di hadapan kami. Sontak, aku menghela napas lega.
"Lo ternyata. Gue kira siapa. Lo ke mana aja? Pulang kok nggak bilang-bilang? Cemen lo!"
Kantung mata Redi tampak menghitam. Ia bergerak maju. Dan saat itulah aku menyadari, tangan Redi memegang pisau.
"Hei! Apa-apaan lo!" Aku membentak panik saat Redi mulai mengayunkan pisaunya ke arah kami.
Tubuh Fuka kudorong ke belakang. Ia terjatuh. Aku berkelit saat Redi mengayunkan pisau ke arahku. Cukup kewalahan aku mengatasi pergerakannya. Redi seperti kesurupan dan terus berusaha menusuk atau menyabetku dengan benda tajam itu.
Aku naik meja, lalu melompat ke balik sofa. Redi masih membabi buta berusaha menyerangku. Mataku meliar ke sekeliling. Mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata. Sayang sekali, tidak ada. Aku menyesal kenapa tidak mengoleksi beberapa barang seperti rumah kebanyakan. Dengan begitu, mungkin bisa kugunakan.
Hanya ada sofa dan meja panjang. Lalu bufet tempat menyimpan beberapa barang pajangan.
Aku menghindar lagi saat Redi nyaris mencapaiku. Kutendang kakinya, tapi percuma. Redi seperti kesurupan.
Satu kesempatan, Redi menerjang ke arahku. Aku berkelit dan jatuh di atas sofa. Tahu-tahu ia sudah berada di atasku, hendak menusukkan benda itu tepat di jantungku. Tangan kananku berhasil menahannya.
Bagaimanapun, aku tidak bisa menandingi Redi. Selain karena ia terbiasa berkelahi, entah mengapa tenaganya di malam ini berkali-kali lipat dari pada biasanya.
Napasku tercekat, hilang. Aku menatap ngeri pada pisau itu, beberapa senti saja sebelum menyentuh kulitku. Redi menyeringai. Ada sorot jahat di matanya.
Aku yakin, itu bukan Redi. Dia pasti tengah dipengaruhi sesuatu.
Untuk sesaat, aku yakin hidupku sudah tamat. Sampai kudengar suara tembakan, dan tubuh di atasku terkulai dengan jerit kesakitan.
Aku bergerak melepaskan diri. Seorang lelaki tak dikenal berdiri dengan pistol di tangannya. Matanya memicing waspada. Aku terkesiap. Kenapa tiba-tiba dia ada di sini?
Belum sempat keherananku terjawab, tiga orang laki-laki masuk menyusul dan meringkus Redi. Aku tergagap, tak percaya. Terlalu mendadak, dan tentu saja tidak masuk akal. Dari mana datangnya orang-orang ini?
"Raga." Laki-laki yang menembak Redi tadi menghampiri. Tubuhnya tegap, dengan perawakan tinggi.
Sesaat, ingatanku berputar. Rasa-rasanya aku pernah melihat pria ini. Ah, iya. Dia polisi yang menginterogasiku saat Bastian meninggal.
"Kami membutuhkanmu di kantor polisi. Ikutlah dengan kami."
Aku menoleh linglung, menemukan Fuka berjalan ke arahku. Dia mengangguk pelan.
"Akan kujelaskan di perjalanan," katanya.
*****
"Kak, Kakak ingat saat aku bilang Oka-san menyuruhku ke mari untuk membantu Kakak?"
Mobil berwarna hitam ini terlalu lengang diisi kami bertiga. Ingin rasanya saat ini rebah di ranjang, bukan malah sofa kendaraan.
"Ya, kenapa?"
"Sebenarnya itu ayah yang menyuruh. Yaa, Oka-san juga, sih. Tapi, ayah begitu mengkhawatirkan Kakak, hanya saja tidak mau mengatakannya, karena takut Kakak terganggu. Ayah bilang ...." Fuka mengembus napas panjang. "Dia didatangi istrinya—maksudku, ibu Kakak di malam itu, memintanya menjaga Kakak karena Kakak dalam bahaya."
Aku melongo heran. Semuanya terlalu aneh untuk dicerna.
"Ibu? Maksudmu ... Mama?"
Fuka mengangguk.
"Aku juga tidak begitu percaya. Tapi, beberapa kejadian aneh yang kita alami, membuktikan itu benar. Entah apa yang dikatakan mama Kakak pada ayah, yang jelas, tadi di rumah kosong, aku melihatnya, Kak. Aku melihat mamamu."
Gelengan pelan kepalaku pertanda semua yang Fuka katakan, sangat sulit—atau lebih tepatnya bertentangan dengan logika, meskipun sebenarnya yang terjadi akhir-akhir ini pun tidak masuk akal.
Mama? Bagaimana bisa?
"Sepulangnya dari rumah itu, aku langsung menelepon ayah. Tentang ritual, dan tentang mama Kakak. Dia lantas memintaku berjaga-jaga. Dia juga yang meminta Om Hari untuk datang ke sini. Tepat saat Redi ...."
Kali ini, semuanya terdengar lebih masuk akal dan terang benderang. Alasan bagaimana para polisi itu tiba-tiba datang ke rumah kami. Hanya saja, apa tidak terlalu berlebihan? Empat polisi sekaligus? Dan itu berarti, Ayah tahu suatu hal.
Pertanyaanku tak terjawab hingga kami tiba di kantor polisi.
****
Redi tertunduk dengan tangan terborgol berhadap-hadapan dengan Om Hari—polisi yang menembaknya tadi. Wajahnya masih menyiratkan amarah, meski tak segarang tadi. Ada sisa-sisa kelelahan dalam sorot matanya.
Sedangkan Om Hari, sibuk mengetik sesuatu di komputernya.
Aku menatapnya dari bangku panjang, duduk bersama Fuka dan Ayah. Ya, Ayah. Dia datang tak seberapa lama setelah kami tiba.
Bahu pegal sekali. Aku memijitnya pelan, sementara mataku tak lepas menatap Redi dan Om Hari.
"Jadi, benar, kau yang membunuh Serra, Jenny juga Bastian?"
Aku membelalak mendengar pertanyaan itu. Apa ini? Tidak mungkin Redi sampai tega membunuh teman-teman kami. Ini ... lelucon bukan? Jantungku mau copot rasanya.
Redi masih tenang dalam posisinya, sejenak, ia mengangguk. Membuat rasa terkejutku semakin berkali-kali lipat.
"Benar."
"Pemeriksaan selanjutnya akan dilakukan di ruang interogasi. Untuk sementara, kau ditahan sampai persidangan."
Usai kalimat itu, Redi bangkit dengan dua orang polisi di kanan-kirinya. Ia berjalan, menatap ke arahku, sebelum kembali menunduk pelan. Aku masih syok. Tak dapat berkata-kata.
Fuka menyenggol lengan, dan baru kusadari, Om Hari memanggilku sedari tadi.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
TerrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...