Suara seperti benda diseret di tengah keheningan, membuat suasana makin menyeramkan, hingga terpaksa kututup rapat-rapat telinga. Mengusir bunyi menyeramkan tersebut dari kepala. Tidak ada hantu, setan atau apa pun itu, ya, kan? Tidak! Ini pasti akal-akalan Redi dan Bastian. Mereka mencoba mengerjaiku. Huh, dipikir aku takut, apa? Demi Tuhan! Ini hanya permainan bodoh!
Sejenak, tak ada suara-suara lagi. Aku membuka tangan yang menutup telinga. Menajamkan pendengaran. Hilang. Apa tadi imajinasiku saja?
Ah, iya. Pasti begitu. Tidak mungkin nyata. Aku jadi ketakutan hanya karena terbawa suasana. Oksigen kuraup banyak-banyak mengisi rongga dadaku. Tapi tetap saja rasanya sesak.
Baru saja aku bersandar pada dinding lemari di belakangku, bunyi benda tajam membangkitkan bulu kuduk. Aku mengusap tengkuk, meredakan ketakutan yang datang lagi. Memaksa berpikir positif. Ini pasti seperti sebelumnya. Hanya imajinasi saja. Aku mencoba mempertahankan kedua mata tetap terbuka. Jangan terpejam! Atau halusinasi itu akan semakin terasa nyata.
Akan tetapi, bunyi itu semakin nyaring terdengar. Aku yakin, kali ini telingaku tidak mengada-ada.
Itu seperti bunyi kau memainkan dua pisau di tanganmu, lalu membuatnya beradu.
Aku menarik napas gugup. Tanganku mulai gemetar. Bagaimana dengan keadaan dua temanku yang lain? Aku tidak tahu pasti apa semua ini benar-benar bagian dari permainan, atau justru tipuan mereka. Kalau benar aku dikerjai, lihat saja nanti. Mereka akan kubalas dua kali lipat. Tapi, aku tidak yakin soal itu.
Selama bersembunyi di sini, aku menajamkan telinga, mendengar apa pun dengan cermat, karena hanya itu satu-satunya indera yang bisa kuandalkan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Tidak ada suara langkah kaki, sepelan apa pun itu. Kalau ada orang di sekitarku, pasti akan terdengar, bukan? Kecuali dia memakai sepatu khusus dengan bantalan di bawahnya. Seperti yang sering kulihat di film-film.
Akan tetapi, tidak ada suara seperti itu. Hanya bunyi benda diseret. Yang berjeda beberapa detik, lalu terdengar lagi. Kali ini, semakin mendekati tempat persembunyianku.
Otakku terasa buntu. Lalu aku ingat, namaku yang disebut Redi pertama kali saat memulai permainan ini. Aku menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengingat apa saja peraturan dan tata cara bermain permainan ini.
Sial!
Akulah nama yang pertama kali disebut, itu artinya, aku pulalah yang paling dulu menjadi target permainan ini.
Aku mencoba tetap tenang. Memangnya kenapa? Toh, ini hanya sebuah permainan. Aku pasti bisa melaluinya. Aku lebih suka membayangkan kalau ini kerjaan mereka berdua, daripada menganggap permainan ini nyata. Yang aku sesalkan, kenapa memilih lemari ini sebagai tempat bersembunyi. Memang tidak ada barang apa-apa. Tapi tetap saja gelap dan sedikit pengap.
Bunyi benda berderak membuatku sedikit berjengit. Apa itu? Telingaku menangkap seperti suara engsel jendela karatan yang ditutup, lalu dibuka secara perlahan. Aku menelan ludah, kelu. Jendela itu persis di sebelah lemari tua ini. Sebelum memulai permainan, aku sudah memastikan tertutup rapat.
Lalu, siapa? Redi atau Bastian? Awas saja!
Desahan napas keras terdengar di balik lemari. Kentara sekali disengaja. Mereka berdua pasti sedang menertawakanku sekarang. Aku tidak boleh kalah dalam permainan ini. Aku tidak akan membuat mereka kegirangan karena berhasil membuatku ketakutan.
Saat ini, aku hanya harus bertahan sampai waktuku selesai. Lalu, jika tiba giliran mereka, aku akan membalas habis-habisan. Akan kubuat Redi dan Bastian terkencing-kencing karena ketakutan. Membayangkan itu, sedikit mengurangi ketegangan.
Aku mengusap wajah kasar. Bisa-bisanya aku mengikuti kemauan mereka untuk permainan konyol ini, hanya karena iseng semata. Tahu begini, lebih baik aku tidur atau menonton bola.
Hawa dingin berembus entah dari mana. Terasa seperti seseorang meniup tengkukku. Aku mengusapnya pelan. Namun, bukan leherku yang teraba. Melainkan sesuatu yang aneh.
Itu seperti rambut. Agak kasar dan bergelombang.
Lidahku seperti mati rasa untuk digerakkan. Sementara air garam di mulut tinggal separuh akibat tertelan tanpa sadar. Apa ini bagian dari tipuan mereka? Pandai sekali membuatku ketakutan. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya dalam-dalam. Sejam lagi, lalu semuanya berakhir.
Sesuatu—atau seseorang—mengetuk pelan pintu lemari, tepat di depanku. Tubuhku membeku, tidak dapat digerakkan sama sekali. Aku masih berusaha berpikir tenang. Itu pasti Redi atau Bastian. Dalam kekalutan itu, aku mendengar suara memanggilku dengan pelan.
"Raga ... Raga ...."
Aku menyimak baik-baik. Suara itu mirip suara perempuan, lembut, juga bernada sendu. Meski begitu, siapa pun dia, bukan termasuk dalam permainan kami. Hei, hanya ada kami bertiga di rumah kosong ini, dan semuanya laki-laki!
Angin berembus lagi, tepat di belakang leher. Dingin, aku merabanya. Rambut panjang tadi sudah tidak ada. Lalu, suara perempuan tertawa, membuat air mataku hampir keluar. Tanganku tremor parah. Pikiran meminta lari, tapi tubuhku enggan digerakkan.
Bunyi langkah kaki berderap, lalu suara-suara seperti benda dibuka paksa, membuatku mendongak. Lalu, teriakan Redi membahana.
"Raga! Bastian! Keluar lo berdua! Gue dah nggak kuat ngelakuin game bodoh ini!"
Perlahan, setengah ragu, aku membuka pintu lemari. Bagian tubuh pertama yang keluar adalah kepala, memastikan keadaan benar-benar aman. Aku memindai sekeliling. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Aku lantas berjalan keluar kamar. Redi berdiri tepat di tengah-tengah ruangan.
Wajahnya pucat pasi. Napasnya memburu, sama sepertiku. Cahaya lampu yang ia nyalakan menerangi ruangan, mengusir hawa teror, dan dalam sekejap, aku merasa diselamatkan.
Aku jatuh terduduk, bersandar di tembok, sembari memejamkan mata. Tubuh seperti
lemas dan mati rasa. Redi menghampiri, lalu duduk di sebelahku. Aku menelan air garam di mulut, lalu mengernyit karena rasa asinnya."Mana Bastian?" tanyaku setelah berhasil mengatur napas.
Redi menggeleng. "Gue belum nemuin dia. Tapi, gue rasa dia sembunyi di kamar belakang. Ada lemari juga di sana."
Aku mengangguk. "Kita harus memberitahunya kalo permainan ini udah selesai, kita harus cepat pergi dari sini."
Redi setuju. Kami berdua bangkit, setengah sempoyongan, menghampiri kamar yang ia maksud. Pintunya terbuka lebar.
Saat aku membuka lemari, kosong, tidak ada apa-apa di sana. Mana Bastian?
"Bastian!"
Seruan Redi membuatku menoleh. Bastian berdiri mematung menghadap dinding, membelakangi kami. Pantas saja aku tak melihatnya tadi. Begitu masuk, tujuan pertamaku adalah lemari.
"Elo nggak papa? Ayo, kita pergi." Redi menarik bahu Bastian. Memaksanya menghadap kami.
Bastian berbalik. Tapi, dia hanya diam saja, meski Redi menepuk pipinya berulang kali. Aku menatap matanya. Saat itulah aku tahu, perasaan tadi bukan perasaan paranoid semata.
Ada sesuatu yang berbeda di sini. Sesuatu di luar jangkauan kami. Sesuatu yang tak seharusnya diusik apalagi dengan permainan iseng. Sesuatu yang bangkit setelah lama tertidur dalam kesunyian rumah kosong ini.
Mata Bastian ... hampa.
****
Tbc.
![](https://img.wattpad.com/cover/203470916-288-k250643.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
HorrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...