Chap. 8: Aku Bisa Melihatmu, Kau Tak Bisa Melihatku

173 16 0
                                    

Lantunan zikir terus berkumandang dalam benak, karena bibir enggan bergerak, dan suaraku tercekat. Aku rebah sekali lagi, bertekad mencoba menggerakkan tubuh, bagaimanapun caranya. Memejamkan mata rapat-rapat, aku berusaha menetralkan detak jantung yang semakin berpacu cepat.

Aaargh!

Aku tersentak bangun. Kali ini, langsung menatap tempat pembaringan. Berhasil! Aku nyaris berteriak saking gembiranya, bisa terbebas dari kejadian mengerikan ini. Bunyi alarm menjadi suara pertama yang memasuki pendengaran.

Huft!

Berapa lama waktu berlalu? Aku seperti baru tidur sejam, tahu-tahu sudah pukul enam pagi. Tanpa menunda lagi, aku bergegas membersihkan diri. Mencoba melupakan, paling tidak, tak mengingat lagi kejadian semalam.

Aku tidak tahu bagaimana cara menyudahi semua ini. Apa aku harus pindah? Rasa-rasanya percuma. Hantu atau apa pun itu, mengincarku, bukan rumah ini. Mungkin meminta bantuan orang yang tahu akan hal-hal seperti ini, adalah ide terbaik. Tapi, siapa?

Aku sibuk memikirkan hal itu, sampai tidak sadar, saat berkaca, sesuatu membuatku nyaris terlonjak. Di bawah mata sebelah kanan, ada bercak seperti noda darah. Apa ini? Kenapa aku tidak menyadarinya saat mandi tadi?

Aku terus mencoba membersihkannya. Butuh waktu lama, memang. Darah itu melekat seperti lem. Saat kucium jari-jariku, baunya amis. Mirip aroma ikan busuk.

Melangkah keluar rumah, aku menghampiri motor lalu menaikinya. Saat tengah memakai helm, tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu di balik jendela.

Seorang wanita membelakangiku.

Tanpa berkata-kata lagi, aku melesat cepat meninggalkan rumah.

****

Baru saja mematikan mesin motor, aku heran melihat para mahasiswa berkerumun di sudut halaman kampus, sebelah kantin. Tidak biasanya. Dua orang gadis melintas di dekatku, berbisik—lebih tepatnya berbincang—cukup keras.

"Ngeri ah. Kampus kita jadi serem akhir-akhir ini."

"Iyaa. Kemarin Jenny. Sekarang Wanda. Menurut elo, ini aneh nggak sih?"

Gerakanku membuka jaket terhenti. Sontak, kepalaku menoleh mengikuti ke mana dua gadis itu melangkah.

"Aneh banget. Udah ah. Yang penting kita lebih hati-hati sekarang."

Aku mempercepat langkah, sampai Bastian dan Redi mencegat. Dua orang itu tampak sedih dan waspada. Bastian bahkan terlihat gugup.

"Ada apa?" Firasatku memburuk mengingat percakapan dua mahasiswi tadi. "Kenapa itu rame-rame?"

Aku melongokkan kepala. Kerumunan mahasiswa meski tak sebanyak tadi, tetap saja tak bisa membuatku melihat apa yang mereka kerumuni. Garis polisi terpasang di tempat itu.

"Lebih baik kita cari tempat duduk dulu." Redi memberi isyarat agar kami mengikutinya.

Tepat di sebuah bangku panjang dekat kantin, kami duduk mengamati keadaan sekitar. Lalu lalang orang berseragam polisi, tampak sesekali berbicara dengan mahasiswa, juga dosen, dan tukang bersih-bersih. Bisik-bisik penuh spekulasi berdengung seakan mengepung kami. Berita yang menyebar, bak bola api menemukan reranting pohon—melahap habis. Tak tahu mana yang benar dan bohong.

"Wanda." Redi menggumam.

Persis yang disebutkan dua gadis tadi.

"Kenapa dia?" tanyaku.

"Ditikam sampai tewas." Kali ini, Redi mengatakannya dengan mengusap wajah kasar.

"Apa?" Aku nyaris meneriakinya.

Petak Umpet Setan (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang