Aku menghempaskan tubuh di atas pembaringan. Tatapan mataku memindai langit-langit kamar, lalu beralih ke jam dinding. Tepat pukul tiga dini hari. Mungkin tidak ada salahnya terpejam barang sejenak. Mengistirahatkan pikiran lelah.
Aku masih dikuasai separuh kesadaran saat mendengar sesuatu. Bunyi apa itu? Mataku refleks terbuka lebar. Apa ada pencuri masuk ke rumah ini? Aku harus mengeceknya.
Setengah malas, aku bangkit, lalu berjalan gontai keluar kamar. Perutku mendadak mulas karena terkejut. Sebuah pisau terletak tepat di depan kamar. Aku mengambilnya.
Aku tinggal sendiri di rumah ini, dan seingatku, sebelum berangkat tadi, tidak ada pekerjaan memasak atau hal lain yang membutuhkan pisau. Lalu, kenapa benda ini ada di sini?
Jantung bertalu-talu saat akhirnya aku memutuskan mengecek keadaan seluruh rumah. Tidak ada siapa atau apa pun. Fiuhh! Kurasa ini efek kelelahan. Seharusnya aku tidak pernah ikut permainan itu. Buang-buang waktu saja.
Aku kembali ke kamar dan baru saja menutup pintu saat mendengar suara benda diseret. Tanpa sadar, aku tertegun. Lalu, langkah-langkah perlahan seperti seorang anak kecil berjalan, terdengar. Aku meraba tengkuk. Ah, kenapa tiba-tiba suasananya seram begini?
Aku memutuskan mengabaikan semua itu, dan mengubur tubuh di bawah selimut. Sungguh, mataku tak hendak terpejam barang sedikit pun. Pikiran melayang, memilah-milah, apa ada sesuatu yang kami lewatkan?
Terperangah, aku membelalak. Apa yang telah kami lakukan? Bodoh! Kami melupakan tahap akhir sekaligus hal penting dalam permainan itu.
Mengakhirinya.
Ya, kami lupa. Seharusnya, sebelum memutuskan pergi secepat mungkin, kami harus menemukan boneka itu, lalu menyemburkan air garam. Kami juga harus membakarnya hingga habis tak tersisa.
Cemas, aku meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, tanpa berniat menyibak selimut. Meraih handphone. Sesaat setelah menemukan benda itu, aku tersentak. Sebuah benda—atau sesuatu—menyentuh punggung tangan.
Dingin, sekujur tubuh mendadak merinding. Aku bisa merasakannya. Sesuatu itu seperti telapak tangan dengan jari-jemari.
Aku menyibak selimut dan bersiap melarikan diri, saat menyadari tidak ada siapa pun di ruangan ini. Masih dengan napas terengah-engah, aku mengedarkan pandangan. Sebuah bunyi tertangkap pendengaranku.
Itu seperti seseorang mencakar sesuatu, tepat di balik pintu kamarku.
Aku menahan keinginan gila untuk mencari tahu, dan memilih menenggelamkan diri di bawah selimut kembali. Wajah kututup bantal. Bibir tak henti-hentinya menyuarakan zikir dan kalimat-kalimat suci lainnya.
Berapa lama lagi pagi menjelang?
****
Mataku terbuka, sesaat, lalu kembali terpejam. Silau matahari menembus retina dari jendela yang terbuka. Tunggu, kapan aku membukanya?
Tak mau berpikir jauh, aku bergegas bangkit dari tempat tidur. Ada kuliah pagi. Mataku menatap ke arah dinding dan mendapati benda bulat di sana dengan jarum pendek menunjukkan pertengahan angka tujuh dan enam. Hei! Aku terhenyak. Itu artinya, hanya tersisa waktu setengah jam untuk mandi, sarapan dan berangkat.
Aku tak sempat membuat kopi hitam seperti kebiasaanku setiap pagi dan hanya sempat meraih selembar roti tawar tanpa olesan apa pun. Mandi pun kulewatkan, dan hanya mencuci muka sekadarnya. Masih dengan buru-buru, aku mengendarai motor dan memacunya secepat mungkin ke kampus.
Sampai di sana, syukurlah aku tidak terlambat. Entah apa yang tengah terjadi, penghuni kelas itu malah asyik bercerita sendiri-sendiri dengan suara yang lumayan gaduh, padahal dosen datang sebentar lagi.
Sebuah tepukan di bahu, membuatku menoleh. Redi menatap dengan raut sedih di wajahnya. Ada apa?
"Lo kenapa?" Aku merasa ada sesuatu yang tak beres. Redi biasanya selalu menampakkan wajah jahil dan penuh keisengan, kali ini, air mukanya mengatakan hal lain.
"Serra, temen kita. Dia meninggal tadi pagi."
Berita yang sangat mengejutkan. Aku terbelalak tak percaya. Seingatku, tak ada yang salah dengan gadis itu. Tingkahnya riang dan ramah, tak pernah terlibat masalah dengan siapa pun.
"Lo tau yang lebih ngejutin dari ini?" Redi mendekatkan wajah.
Aku menggeleng.
"Dia ditemukan di belakang rumah kosong tempat kita main Hitori Kakurenbo, semalam."
****
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
HorrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...