"Kak."
Fuka menatapku. Aku mengangguk, memberinya isyarat agar menyampaikan apa saja yang ingin ia utarakan.
"Buat nemuin boneka itu, kita harus ngelakuin permainan itu lagi."
Hah?
Aku menelan ludah, kaget. Lagi?
Fuka sepertinya mengerti kerisauanku. Ia mengangguk mantap. Ia juga meremas lenganku.
"Jangan khawatir, Kak. Di sini, ada yang ngejagain kita."
Aku menoleh pada Redi, meminta persetujuannya. Tanpa disangka, ia mengangguk.
"Satu-satunya cara buat bebasin kita dari kutukan ini," jawabnya tegas.
Aku memandang ke bawah. Ke tempatku berpijak. Lantai yang terlihat kotor, tak terawat. Entah apa yang terjadi di rumah ini, sampai-sampai penghuni sebelumnya pergi karena tidak kuat. Ah, apa benar gangguan di sini memang ada, bahkan sebelum kami melakukan Hitori Kakurenbo?
"Kak."
Aku mendongak saat merasakan Fuka menyentuh bahuku. Dengan mengembus napas kuat, lalu menelan ludah sekali lagi, aku mengangguk yakin.
"Baiklah."
Untuk yang ketiga kalinya, kami melakukan permainan terkutuk ini.
****
Sesuai arahan Fuka, aku menempati lemari kayu yang terletak di sudut ruangan. Redi bersembunyi di tempatnya dulu, sedangkan Fuka menempati bagian Bastian. Permainan pun dimulai.
Berbeda dengan aturan sebelumnya, kali ini, kami harus bergerak begitu mendengar suara-suara mencurigakan. Bukan hal yang menyenangkan, tapi mau bagaimana lagi. Itu satu-satunya cara untuk menemukan si boneka.
Aku merasakan adrenalin terpacu, debaran jantung semakin menggila, juga helaan napas mendadak tak beraturan.
Aku mencengkeram tanganku sendiri tanpa sadar. Terlalu erat, kurasa menimbulkan bekas kemerahan. Napas terengah-engah. Aku harap, halusinasi tak semakin membuatku gila. Menajamkan pendengaran, aku berusaha fokus, tak teralihkan oleh pikiran-pikiran buruk.
Aku berusaha tidak menoleh ke belakang. Saat ini, aku sedang berada di dalam lemari, tak terlalu sempit, tapi juga tak terlalu besar hingga tidak mungkin bisa menampung dua orang duduk saling membelakangi. Karena ... aku merasa ada yang duduk di belakangk.
Bahuku tersentuh sesuatu. Apa pun itu, terlalu dingin untuk dianggap benda. Napasku pendek-pendek. Aku mencegah keinginan keras untuk menoleh.
Kreek, kreek, kreeek.
Suara cakaran terdengar jelas di belakang. Tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa itu bukan berasal dari manusia. Tidak! Aku tidak boleh menyerah hanya dengan ini. Biarkan 'dia' berbuat apa saja. Yang jelas, aku harus memenangkan pertarungan sampai akhir.
Bunyi-bunyian tak lazim makin lama terdengar dari arah belakangku. Aku menahan napas terlalu lama. Bau busuk mulai memenuhi udara. Aku mencegah perut memuntahkan isinya.
Abaikan yang ada di belakang! Fokus di depan!
Aku merapalkan kata-kata itu bagai mantra. Tidak ada yang tahu, bagaimana nasib kami nanti, tapi setidaknya kami tidak pernah menyerah. Bastian meninggal, karena ia menyerah. Semua ini pasti akan berakhir, lalu aku kembali beristirahat di rumah.
Aku terus mengisi pikiranku dengan keyakinan positif seperti itu, dan menepis semua hal-hal buruk. Baru saat itulah, semua gangguan uji nyali tersebut, berhenti.
Tak ada suara atau gerakan apa pun terdengar. Namun, justru membuatku curiga. Jangan-jangan ....
Suara benda-benda pecah susul menyusul, bunyi seperti seseorang memukuli sesuatu, dan yang terakhir, teriakan Fuka. Shit! Aku mendobrak pintu lemari, dan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
HorrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...