"Gue ngeliat sendiri. Jenny jatuh tepat di depan gue. Lo pikir gue baik-baik aja?"
Bastian menepuk-nepuk bahuku. Genggaman tangannya mengerat, aku tahu dia berusaha meredam emosiku. Redi terdiam, tak menanggapi.
Jujur, tak seharusnya aku terpancing apalagi meluapkan emosi padanya. Redi tak salah hanya karena ia menanyakan kronologinya. Akulah yang terlalu kacau, kondisi mentalku terguncang hebat. Menyaksikan orang meregang nyawa tepat di hadapan dengan cara mengenaskan bukanlah pengalaman menyenangkan.
"Mending lo pulang sekarang, Ga." Redi menyarankan.
Aku menatap wajahnya. Tersirat rasa cemas akan kondisiku. Menelan ludah, aku mengangguk.
"Lagian juga lo udah kelar. Mau kita anter?"
Redi mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kantor polisi bukanlah tempat yang tepat untuk menghabiskan sisa malam. Dua lelaki berpakaian polisi, tampak berbincang di depan. Sementara yang lain, menghadapi meja dan setumpuk tugas dengan beberapa kali menguap.
Aku sudah diperbolehkan pulang, setengah jam yang lalu. Hanya saja, meninggalkan teman-teman lain yang belum selesai diinterogasi, kurasa bukanlah hal yang pantas. Pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian tadi siang, membuatku bergidik mengingatnya.
Malam belum terlalu larut, tetapi aku lelah luar biasa. Kurasa, nanti sedetik saja tubuh mendarat di atas pembaringan, aku akan cepat terlelap.
"Ga."
Sapaan Redi membuyarkan lamunanku. Pemuda berwajah tirus itu menganggukkan kepala sekali lagi.
"Ya udah, gue pulang," jawabku akhirnya.
"Sendiri?"
"Iyaa."
"Lo bener ngga apa-apa? Gue anterin lo."
Aku bangkit dari bangku panjang tempatku duduk mengawasi lalu lalang orang sedari tadi. Tertawa kecil pada Redi.
"Gue nggak apa-apa. Lo persis emak-emak ngekhawatirin anak gadisnya pulang malem," gurauku.
Redi tersenyum tipis. "Ya udah. Ntar kalo ada apa-apa, langsung hubungi gue."
"Sip." Aku mengacungkan jempol.
Hawa dingin menyergap begitu aku keluar melintasi halaman kantor polisi, menuju motor yang terparkir di bawah pohon akasia. Aku menarik resleting jaket, memakai helm, lalu menuntun pelan kendaraanku. Mengangguk sekilas pada dua polisi yang berjaga di depan, kemudian setibanya di luar gerbang, tanpa ragu kupacu menembus pekat malam.
Jalanan lebih lengang daripada saat aku berkendara menuju ke arah berlawanan, tadi siang. Siluet yang dihasilkan cahaya redup lampu jalanan, terkadang memacu imajinasi menciptakan bayangan mengerikan. Aku berhenti tepat saat lampu lalu lintas menyala merah. Beberapa pengendara motor berjejer di kanan-kiriku. Sebagian yang lain, tampak membonceng pasangannya, mesra. Aku lupa sekarang malam minggu.
Selain lelah, tentu tak ada alasan bagi jomlo sepertiku untuk keluar rumah. Lagi pula, menghabiskan waktu di luar bersama lawan jenis, sama sekali tak terpikirkan olehku. Buang-buang waktu dan tenaga. Juga, rawan sekali menyebabkan penyesalan di kemudian hari. Bukannya aku sok suci atau apa, memang seperti itulah kebanyakan. Bukan rahasia umum lagi, bila nyaris sebagian besar teman kuliahku sudah pernah merasakan apa itu pacaran dan segala "aktivitas" terlarang. Rasa-rasanya hubungan asmara terasa "kurang" bila tak memasuki ranah pribadi, minimal saling menyentuh.
Tentu saja, karena pandanganku ini, aku sering dibully habis-habisan oleh Bastian dan Redi. Akan tetapi, tak masalah. Bully-an mereka tak ada apa-apanya dibanding ancaman adikku dengan teriakannya, lengkap ancaman mengadu pada Ayah dan Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
HorreurTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...