Benar-benar sial!
Aku merasa hidupku sudah dikutuk. Kalian setidaknya seumur hidup sekali pasti pernah mengalami kejadian mistis, apalagi untuk mereka yang tidak percaya—bahkan menantang hal-hal gaib. Akan tetapi, ini ... kenapa harus aku? Aku percaya dan meyakini hidup kita dan 'mereka' berdampingan meski sebelumnya tak pernah merasakan atau berinteraksi langsung. Lain halnya dengan adikku yang punya kemampuan 'merasakan'.
Namun, lihatlah sekarang! 'Mereka' memburu, seakan tertawa kegirangan melihatku meringkuk ketakutan. Aarghh! Lama-lama ini bisa membuatku gila. Aku tidak percaya, aku takluk pada 'mereka'.
Tongkat kasti di tangan, kugenggam erat-erat. Siapa pun yang mencoba mendobrak masuk di belakang pintu, jelas dia bukan manusia. Tidak ada orang yang masuk atau menempati rumah ini selain aku. Apa pun yang terjadi, aku harus mempertahankan 'wilayahku'.
Jam berdentang tepat tengah malam. Sialan! Buat apa, sih, Papa membeli jam dinding ala zaman kuno seperti itu? Besok pagi aku harus menggantinya dengan jam biasa.
Benda persegi panjang yang memisahkanku dengan 'dia' itu terdengar didobrak sekali lagi. Aku mendongak. Menatap ketakutan ke arahnya.
Tunggu dulu!
Hei, ini rumahku. Kenapa malah aku yang terdesak? Lagi pula, setan atau apa pun itu, mereka datang baru-baru ini. Sejak setahun hingga beberapa hari yang lalu, rumah Papa aman-aman saja tanpa gangguan.
Aku mengeratkan genggaman. Bertekad menghadapi apa pun di luar sana. Suara gedoran dan dobrakan beruntun terdengar semakin keras. Aku mengucap doa-doa dalam hati.
Tangan kiriku yang meraih handle pintu terasa berat sekaligus gemetar saat kupaksa memutarnya. Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Aku harus berani.
Secepat kilat, aku membuka dan mengacungkan tongkat kasti ke depan. Tidak ada apa-apa atau siapa pun. Di mana 'dia'?
Sejenak, aku menarik napas lega. Namun, itu hanya berlangsung sedetik sebelum angin keras tiba-tiba menerjang dan membuatku terjungkal. Lalu, suara tawa perempuan membahana di seantero rumah.
Rasa takut mencengkeram kuat-kuat. Aku berusaha menggerakkan tubuh untuk melarikan diri, tetapi gagal. Badanku terasa dipaku atau ditindih sesuatu.
"Hihihihihi." Tawa cekikikan itu makin lantang terdengar.
Tepat di depan telingaku.
Aku melontarkan semua kekesalan, kemarahan, dan ketakutanku dengan berteriak keras.
"Aaaarrghh!"
Jleb.
Tiba-tiba pandanganku gelap. Apa ini? Apa aliran listrik terputus?
Sesuatu yang dingin, hampa, dan terasa berat, membelai kepalaku. Aku masih mendengar suara-suara itu. Suara tawa, tangis, bunyi benda tajam digesekkan, hingga langkah-langkah terseret.
Oh, Tuhan!
Apa aku harus mati sekarang?Mati di tangan mereka yang bahkan tak terlihat ini?
****
Dingin menyengat membuatku terbangun, lalu mengigil. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku duduk dan mencerna pemandangan di depan dengan pikiran separuh sadar.
Rupanya, aku terlelap di depan kamar. Napas tersengal-sengal. Aku merasakan titik keringat jatuh mengalir di dahi hingga ke pipi. Padahal aku kedinginan barusan.
Jam jelek di ruangan ini menunjukkan angka tujuh dengan sempurna, membuat mataku membelalak. Apa-apaan ini? Setan tak tahu diri itu bukan hanya meneror tidurku, tapi sekarang mengganggu jadwal kuliahku!
Aku bangkit dan langsung saja sempoyongan akibat aliran darah belum sepenuhnya lancar mengalir, otakku butuh asupan oksigen lebih, dan kejadian semalam, lebih dari sekadar 'gangguan makhluk astral biasa'. Ah, shit-lah!
Bergegas aku membersihkan diri—jika cuci muka masuk dalam kategori membersihkan diri—lalu menyambar ransel, dan melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Percayalah! Tatapan membunuh dari dosen jauh lebih mengerikan daripada umpatan para kenek angkot yang kudapatkan di sepanjang jalan.
Sampai di tempat parkir, rupanya Redi dan Bastian menunggu. Kami saling menempelkan acungan tinju, sebelum berjalan masuk melintasi halaman kampus.
"Lu kenapa? Kek Hansip habis ngeronda?" Redi mengerucutkan bibirnya yang penuh dengan keripik kentang.
Ck! Anak itu. Masih sempat-sempatnya nyemil di waktu-waktu genting seperti ini.
"Lu berdua tahu? Gara-gara game sialan itu, gue diteror saban malam sama hantu-tak-berprikehantuan itu! Semalam aja, gue dibikin molor depan kamar. Ah, lama-lama gue bisa gila kalo gini ter—"
Bibir refleks menutup. Redi menjejalkan keripik di tangannya ke dalam mulutku. Aku tersedak, dan memuntahkan makanan itu.
"Woy!"
Redi dan Bastian kompak tertawa.
"Elu cerita kek emak-emak depan kompleks nemu bahan gosip terbaru. Sans aja, Bro! Lu gak bakalan mati cuma gara-gara hantu."
Redi dan mulut comberannya.
"Gue emang gak akan mati. Tapi, gue bisa stress trus bunuh diri kalo kayak gini terus. Anjir lu pada!" Aku bersungut-sungut kesal.
"Itu cuma khayalanmu, Say." Redi berkedip genit, memancing amarahku.
"Khayalan pala lu!" Sebuah jitakan kasar kualamatkan ke kepalanya. Redi mengaduh.
"Kalo lu nggak percaya, gimana kalo kita nyoba mainin game itu lagi? Mungkin ntar setan yang ngikut di badan elu, balik lagi ke tempat asalnya."
Aku mempercepat langkah, meninggalkan Redi yang masih mengoceh di belakang. Dia meneriakiku dengan tawanya yang menyebalkan.
Tepat sesaat setelah mendarat nyaman di kursi, dosen menyelamatkanku dengan muka garangnya, dari ledekan Redi yang seakan tak pernah berakhir.
***
Huft!
Aku mengembuskan napas kesal. Akibat teror setan kurang ajar itu, aku kurang konsentrasi selama pelajaran, dan berkali-kali mendapat teguran serta pelototan dosen. Apa ada cara membuat 'mereka' berhenti menggangguku?
Buru-buru aku menyambar ransel dan langsung melesat keluar. Redi dan Bastian sudah pergi, entah ke mana. Sepertinya mereka mendahului pulang karena sempat kudengar tadi, Redi bercerita tentang game online baru yang cukup seru.
Aku membaur bersama para mahasiswa, berjalan melintasi koridor menuju pintu keluar. Sempat kubalas sapaan hangat beberapa mahasiswi setingkat denganku atau lebih rendah. Bukannya aku terlalu ge-er atau kelewatan percaya diri. Mereka—para gadis itu—kurasa bersikap dibuat-buat manis saat melihat atau berinteraksi denganku.
Ah, sudahlah. Lagi pula aku belum berniat pacaran. Atau adikku akan menatap murka dan jadi monster bila tahu aku menjalin hubungan dengan seorang gadis sebelum lulus kuliah. Seperti janji kami, tidak akan berpacaran sebelum jenjang pendidikan benar-benar selesai.
Aku menatap sekeliling halaman kampus yang cukup luas. Tanah lapang yang memisahkan gedung dengan tempat parkir. Tepat sebelum melangkah, kakiku terhenti tiba-tiba.
Brak!
Aku terlonjak. Satu langkah kaki, sebuah kejutan mengerikan menyambut di hadapan.
Ap-apa ini?
Lututku rasanya lemas, terlalu kalut hingga tercekat untuk berkata-kata, menyaksikan pemandangan ini. Gemetar, tanganku bergetar tanpa sadar.
Pekikan ngeri, ketakutan, hingga tangisan histeris seketika terdengar di sekelilingku.
Nyaris tak bernapas, mataku masih membelalak lebar, sedangkan tubuhku dipaku keterkejutan teramat sangat.
Seorang gadis tergolek dengan kepala separuh pecah, sedangkan darah membanjiri sekelilingnya.
Jenny!
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
TerrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...