Chap. 2: Hitori Kakurenbo

331 16 0
                                    

Penakut!"

"Cemen!"

Lalu mereka kompak tertawa. Aku cuma bisa mendengkus, tak meladeni keduanya.

Aku bangkit dari bangku kantin, berjalan menghampiri kulkas, meraih sebotol minuman bersoda, lalu kembali duduk menghadap mereka.

"Gue bukannya takut atau cemen. Lo berdua tahu, kan, gue paling anti sama hal-hal gaib kek gitu. Nggak ada kerjaan lain, apa?"

Redi dan Bastian saling pandang. Hanya sebentar, lalu kembali tertawa. Lebih keras dari sebelumnya.

"Halah, bilang aja lo emang penakut. Pasti kebanyakan baca creepypasta di Wattpad nih. Lo cowo bukan, sih?" Redi terbahak makin kencang dan tanpa basa-basi ia merebut botol minumanku, mengabaikan pelototan dariku.

"Serius?" Bastian melebarkan mata.

"Paan?" Aku balik bertanya malas.

"Elo beneran suka bacaan nggak jelas di internet itu, yang sumbernya aja nggak tau?"

"Kalo lo nggak percaya, cek aja hape dia. Lo bakalan jijik tau, saban malam dia mantengin update cerita nggak jelas itu. Elaah, cowo mah begadang buat main game atau kencan sama pacar. Lah dia ...."

Bastian tertawa bersama Redi. Apa-apaan mereka? Kalau aku takut, tentu aku tidak mau menempati rumah Ayah sendirian. Lagi pula, hobi orang berbeda-beda, kan?

"Serah lo berdua, dah!" Aku merebut minumanku kembali dari Redi, lalu meneguknya hingga tandas tak bersisa.

"C'mon, Raga. Jangan gara-gara cerita recehan itu, elo nggak mau coba permainan ini." Alis Redi turun naik dengan licik. Senyumnya melebar sepertinya dia yakin sekali aku akan menyerah.

"Ini cuma maenan, Ga. Maen. Kek petak umpet biasa pas kita kecil dulu. Cuma bedanya, kita buktiin, setan itu beneran ada apa nggak?" Bastian menimpali.

Aku benci ditertawai kedua temanku ini. Aku juga benci, dianggap penakut. Namun, teringat konsekuensi dan cerita-cerita tentang permainan itu, sisi lain batinku menolak.

"Gimana kalo kita taruhan aja. Siapa yang bisa bertahan ampe akhir, bakalan ditraktir makan siang sepuasnya selama sebulan penuh." Redi berkata dengan nada sombongnya.

Aku tidak pernah kekurangan uang harian, Ayah melimpahkan materi cukup banyak setiap bulannya. Maklumlah, aku anak laki-laki satu-satunya. Aku juga tidak pernah mengalami persoalan membingungkan selayaknya mahasiswa pada umumnya, seperti kesulitan mendapat kost atau kontrakan, karena sejak pertama kuliah, rumah Ayah yang lumayan nyaman, telah dia limpahkan sepenuhnya padaku.

Hanya saja, gengsiku tentu dipertaruhkan, jika sampai menolak tantangan Redi. Maka, tanpa mempertimbangkan hal lain, aku mengiyakan.

"Oke!"

****

Aku melotot.

Redi menyeringai.

Apa ini?

Boneka dengan wajah setengah rusak, bola matanya tersisa satu, rambut dari senar yang tampak kusut dan awut-awutan. Belum lagi pakaian kumal, dan sedikit bau. Entah dari mana bocah itu mendapatkan boneka ini.

"Di, elo nggak bisa cari boneka lebih manusiawi gitu? Anjir! Chuky aja kalah serem ama ni boneka." Bastian menyuarakan pikiranku.

Aku mengangguk setuju.

"Lagian, elo ngais di kolong jembatan mana sih? Nemu aja sampah kek gini."

Redi mendengkus. "Lo berdua pada belagu, yaa. Udah untung gue cariin juga. Lagian kita mau main petak umpet ama setan, bukan main rumah-rumahan!"

Petak Umpet Setan (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang