Sekali lagi, aku duduk di kursi kantor polisi, bedanya, kali ini aku ditemani Fuka. Dia duduk di bangku panjang belakangku. Seorang polisi di seberang meja, sibuk mengetik sesuatu di keyboard komputernya.
"Terima kasih, Saudara Raga. Kesaksian Anda cukup. Anda sudah boleh pulang."
Aku mengangguk sekilas, lalu bangkit dan menghampiri adikku. Sama sepertiku, Fuka tampak lemas, sorot wajahnya syok berat.
Aku mengelus kepalanya, pelan. "Tidak apa-apa. Ayo, kita pulang."
Tanpa menjawab, Fuka berdiri mengikutiku menuju parkiran. Setelah melewati malam yang panjang, aku yang memang tengah libur kuliah, menghabiskan setengah hari di kantor polisi. Bukan hal menyenangkan, mengingat keadaanku sebelumnya, terlalu kaget dan sangat berduka.
Aku masih merasakan ototku yang menegang kala suaraku lantang terdengar meneriakkan nama Bastian berulang kali. Tak ada jawaban, hanya aliran deras sungai memecah kesunyian.
Dalam gelap, aku berusaha mencari-cari sosoknya. Akal sehat seperti hilang, saat aku memutuskan untuk turun ke sungai, untung saja Fuka mencegah. Malam dengan kesunyian menyiksa itu menyaksikan bagaimana seorang sahabatku meregang nyawa.
Masih terbayang di benakku, bagaimana histerisnya orang tua Bastian saat mereka dihubungi polisi. Mama sahabatku itu bahkan murka kepadaku dan menuduh hal yang tidak-tidak.
Aku tidak menyangkal sekali pun, karena aku sadar, rasa kehilangan terkadang butuh dilampiaskan. Aku hanya bisa menatap jasad sahabatku yang terbujur kaku dengan selimut menutupi seluruh tubuh dan wajahnya.
Dan di sinilah kami. Setengah tak percaya, aku mematung menatap pusara tempat sahabatku bersemayam di bawahnya. Amat sangat tidak percaya. Orang yang sehari-harinya tertawa, bercanda, dan melakukan sejuta hal lainnya, tahu-tahu sudah berkalang tanah. Sekuat apa pun aku mencoba, air mata itu turun juga. Bastian, meski aku mengenalnya tak seberapa lama, kami terikat oleh rasa kenyamanan sebagai seorang sahabat. Aku tercekat mengingat hal itu.
"Raga."
Seseorang menyentuh bahuku. Aku menoleh dan mendapati Redi dengan mata yang merah, mengangguk padaku.
"Udah sepi di sini. Ayo pulang!"
Ingin aku menolak dan menepis tangannya. Namun, melihat langit menjingga, akhirnya aku mengangguk mengiyakannya. Fuka mengikuti dari belakang. Kami berhenti di samping motor yang diparkir.
"Gue minta maaf. Maaf banget waktu itu gue nggak ikut elo. Harusnya gue bareng kalian."
Aku menggeleng menanggapi ucapan Redi. Setengah terpaksa, aku tersenyum.
"Bukan salah elo."
Redi mengembus napas panjang. Ia menggaruk tengkuknya.
"Habis ini rencana elo gimana?"
Aku mengangkat bahu. Pikiran benar-benar kosong untuk saat ini. Yang ada dalam benakku hanya bayang-bayang Bastian dan saat-saat terakhirnya. Sekuat apa pun aku mencoba melupakan, sepertinya itu akan menjadi mimpi buruk sepanjang hidupku.
Seorang sahabat meregang nyawa di depan mata.
"Ga."
Aku membuka mata. Redi menatap cemas ke arahku.
"Malam ini kita bereskan," putusnya.
Masih terdiam, aku tidak merespons ucapannya.
"Anggap saja ini demi Bastian. Dan demi elo. Cuma elo sahabat gue saat ini. Gue nggak mau elo tersiksa kayak Bastian."
Tiba-tiba tenggorokanku kembali tercekat. Mengingat ucapan Bastian bahwa ialah pembunuh Jenny. Aku menatap Redi, lama. Apa sebaiknya aku ceritakan hal ini padanya?
Sedetik kemudian, aku menggeleng. Meski terdengar sangat jahat, biarlah rahasia itu kusimpan rapat-rapat. Biarkan Bastian tenang di alam sana.
Aku menarik napas panjang. "Oke. Malam ini kita cari boneka itu."
****
Usai makan malam di sebuah depot sederhana, kami meluncur ke rumah kosong tempat semua kejadian ini bermula. Menginjakkan kaki kembali ke sana seakan mendatangi awal sebuah mimpi buruk. Mimpi yang terus meneror, yang membuat salah seorang sahabatku kehilangan hidupnya.
Aku menahan perasaan sesak yang tiba-tiba mendera. Masih jelas di ingatanku, kami bertiga masuk ke rumah ini dan melakukan permainan terkutuk. Andai ... semua bisa diputar, aku akan bersikap lebih tegas menolak usul Redi waktu itu.
Sebuah tangisan lirih membuat lamunanku terhenti. Sama denganku, Redi terlihat kaget. Saat itulah, aku menyadari, Fuka sudah tidak ada di sampingku.
Bersama Redi yang memegang senter, aku menemukan Fuka berdiri di tengah-tengah ruangan seraya mendongak ke atas dengan air mata meleleh di pipinya. Cepat-cepat kuhampiri, dan mencengkeram bahunya, lalu menggoyang perlahan.
"Ada apa?"
Sudah cukup Bastian. Aku tidak mau adikku yang tidak ada sangkut pautnya dengan permainan ini, ikut menjadi tumbal. Fuka menatapku dengan sorot bingung, tiba-tiba memelukku erat.
Dia menumpahkan tangis di bahuku. Aku kebingungan menghadapinya. Kenapa mendadak dia begini?
"Hei, hei! Ada apa?"
Aku masih berusaha mendapat penjelasan darinya. Namun, Fuka menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kamu kenapa?"
Aku melepas pelukan, lalu mengusap pipinya yang basah. Gadis itu masih terisak, saat menunjuk sesuatu.
"Sesuatu terjadi di sana, dulu sekali. Dan ini ada hubungannya dengan Kakak. Dua puluh satu tahun yang lalu, sebuah persitiwa menyedihkan, terjadi."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
HorrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...