Suram. Mungkin kata itulah yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan di sini. Hanya isak tangis terdengar. Juga, orang-orang berpakaian serba hitam, seakan menjadi warna tersendiri di pemakaman ini. Aku melihat orang tua Serra jongkok dengan tangan tak henti-hentinya mengusap batu nisan bertuliskan nama Serra. Sang ibu terus mengucurkan air mata, sementara suaminya mendekap dari samping, tubuh istrinya.
Dua orang wanita—entah siapa—mempercakapkan sesuatu yang cukup mencengangkan. Kami berdiri tak jauh dari mereka, hingga mendengar percakapan itu.
"Katanya dia hamil."
"Oh yaa, jadi itu sebabnya dia bunuh diri?" Yang lain menyahut.
"Ya, emangnya apa lagi? Akhir-akhir ini, Serra keliatan beda, sih. Kayak sedih gitu. Yakin banget, dia depresi gara-gara pacarnya nggak mau tanggung jawab."
"Ada benernya juga sih. Cuma, kamu pasti tahu dong kalo rumah itu angker?"
"Duh, kalo itu sih aku sering denger. Iya, angker banget. Katanya, dulu ada cewek bunuh diri di sana."
"Bukan katanya, emang bener. Apa mungkin yaa, Serra kerasukan setan itu?"
"Ih, serem ah. Jangan bahas setan di kuburan gini. Udah, yuk, balik!"
Kami bertiga saling berpandangan. Bastian menggeleng. Dia terlihat gugup.
"Baiknya kita balik juga. Udah kelar, kan, acaranya?" Matanya menatap sekeliling.
Redi mengiyakan. "Ya udah, yuk. Cabut."
Suasana pemakaman ini semakin menyeramkan saja, saat petang tiba. Aku memacu motor, sementara Redi pulang bersama Bastian. Percakapan kedua wanita tadi, tidak dapat tidak terngiang dalam pikiran, sepanjang perjalanan.
Serra, kami bertiga cukup akrab dengannya. Bahkan, kabarnya, diam-diam ia menyukai Bastian. Memang gerak-gerik ketertarikan pada seseorang susah disembunyikan.
Akan tetapi ... hamil? Aku benar-benar tak menyangka. Serra anak baik, sepengamatanku. Dia cukup berprestasi di kampus. Ramah, dan tidak pernah berperilaku aneh-aneh.
Ah, tidak ada yang tahu takdir orang. Aku mengembus napas kasar. Apa pun yang sesungguhnya terjadi, semoga Serra tenang di alam sana.
Jalanan hari ini lumayan lengang. Beberapa kendaraan melaju tanpa hambatan. Mungkin karena hari beranjak petang, kegiatan di kota kecil ini semakin berkurang. Lalu lalang orang-orang di trotoar semakin menipis, tak sepadat puncak hari tadi.
Umpatan, maupun seruan ketidaksabaran yang biasanya dilontarkan para pengemudi kendaraan tak lagi terdengar. Itu membuatku cukup lega. Tidak seperti saat pulang kuliah. Selain menahan lelah akibat dijejali materi pelajaran seharian, kesabaranku diuji dengan kondisi jalan yang carut marut. Entah sampai kapan keadaan ini bertahan. Semua orang terlihat tak peduli, ego yang membumbung tinggi, kepentingan pribadi adalah segala-galanya.
Lampu merah menyala tepat saat aku sampai di belakang zebra cross. Aku mendongak ke atas, memastikan berapa lama lagi aku menunggu benda itu berganti warna hijau.
Seorang wanita berjalan menuntun anaknya yang masih balita menyeberang jalan. Celoteh bocah kecil itu terdengar hingga membuatku tersenyum. Sang ibu begitu sabar menjawab pertanyaan anaknya hingga mereka sampai di ujung.
Begitu lampu hijau menyala, aku bersiap memacu motor. Tatapan mataku menangkap sosok tak asing berjalan tak seberapa jauh di depan. Aku terbelalak.
Aku menggosok-gosok mata, memastikan yang kulihat itu bukan halusinasi semata.
Bukan.
Sosok itu balas memandangku. Mata kami saling bertemu. Sejenak, dia berpaling lalu pergi dan menghilang.
Aku mengedipkan mata beberapa kali, meredakan rasa terkejut teramat sangat. Itu tadi ... Serra, bukan?
Aku percaya hantu atau semacamnya, tapi tak pernah mengalami penampakan jelas di depan mata. Yang baru saja terjadi, sungguh berada di luar ambang nalar.
Tidak. Aku tidak salah lihat. Aku tidak mabuk, mengantuk, ataupun kecapekan. Dia benar-benar Serra. Hanya saja, bagaimana mungkin?
Rasa keterkejutanku harus terputus akibat suara klakson dari belakang yang menyadarkan seharusnya aku sudah memacu motor sedari tadi. Setengah pulih dari kekagetan, aku melaju kembali di atas jalanan.
Tepat beduk tanda waktu magrib berbunyi, motor yang kukendarai terparkir sempurna di garasi. Aku meraih belanjaan yang sempat kubeli di market perempatan jalan.
Aku sibuk meneliti barang yang kubeli sembari berjalan menuju pintu. Saku jaket kurogoh, mencari benda penting. Kunci rumah.
Begitu pintu terbuka, pemandangan ruang tamu yang tak terlalu besar dengan satu sofa panjang, dan tiga sofa pendek, serta meja persegi empat di tengah-tengah. Ada satu benda menarik perhatianku, terletak di sana.
Plastik berisi bahan makanan selama seminggu itu kini berpindah ke sofa panjang, aku duduk untuk memperhatikan benda apa itu.
Saat tangan meraih, dan mataku menelitinya, aku luar biasa terkejut. Itu adalah tali.
Dengan ukuran dan simpul yang digunakan orang untuk bunuh diri.
****
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petak Umpet Setan (End)
HorrorTiga remaja melakukan suatu permainan terlarang di sebuah rumah kosong. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi. Tak hanya itu, bahkan hingga permainan selesai pun, teror masih membayang. Beberapa teman mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan...