Satu

31.7K 1.4K 21
                                    


“Ngga, dua jawabannya," kukuh Dimas. Pulpen yang terapit oleh kedua jarinya membentuk angka dua di atas kertas bergaris, mengultimatum jawaban tepat.

“Eh iya,” ujar siswa di samping Dimas, “kok lo lebih hebat dari kalkulator sih?” lanjutnya heran.

Dimas mendengkus kecil, cukup kesal pada temannya, selalu saja memakai cara itu walau dirinya masih bisa menjawab, ia tak suka itu. Jika masih bisa menghitung dengan jari, untuk apa menggunakan kalkulator?

“Terserah, temenan aja sama kalkulator!” tukas Dimas sinis.
Tatapan Dimas kembali ke depan papan tulis. Beberapa menit yang lalu—guru yang kini tengah menerangkan—memberi beberapa soal dari buku paket. Dimas sih aman, dia bahkan sudah menyelesaikan hampir setengah buku paket sejak satu jam yang lalu.  Mata dan telinga Dimas sedang fokus pada hal berbeda, yaitu suara meeting dari earphone wearless.
Wahana bermain, tulis Dimas di buku catatannya lalu ia lingkari dan disambungkan oleh garis ke lingkaran yang bertuliskan timezone.

“Nomor empat berapa isinya, Dim?” tanya teman sebangku Dimas lagi.

“Tiga akar dua,” jawab Dimas cepat, saat itu pula ia tetap menulis isi presentasi dari seberang earphone.

“Oh, kirain akar empat,” dumel temannya.

Obsidian Dimas bergerak cepat kala menemukan satu jalan keluar dari macetnya meeting hari ini, sangking ributnya sampai sekretaris Dimas menghubungi begini. 

“Lokasinya kurang strategis,” komentar Dimas pada akhirnya, ujung bolpoin ia ketukan berirama di satu titik kesimpulan.

“Pembangunan mall, bisa kamu buatkan proposalnya, Ilyasa?” tanya Dimas.

Dimas mengangguk puas sebab jawaban yang ia dengar adalah bersedia. Panggilan terputus hanya dengan satu tekan, berganti menjadi musik lofi .

“Eh, playboy ganteng!” panggil teman sebangkunya, Gilang.

Dimas memberikan ponselnya tanpa melirik, yang pastinya Gilang gunakan untuk memakai kalkulator. Gilang mengacungkan ibu jarinya semangat.

“Peka banget, perfect boy,” puji Gilang.

Iya, Dimas perfect di segala hal, namun sayangnya ... Dimas tengah membohongi puluhan orang. Dimas seharusnya tidak di sekolah seperti ini, duduk menatap luar jendela, memeriksa di mana orang suruhan untuk menjaga gadis yang baru ia temukan.

Dimas menekan earphone yang segera tersambung dengan semua bawahannya.

“Ikuti dia, baru saja melewati kelasku.”

“Dimas?”

“Eh!” Dimas sedikit terkejut.

Guru itu menatap Dimas  tajam lalu menegur galak, “Kamu mendengarkan musik di kelas Ibu?”

Dimas menggaruk leher belakangnya malu-malu, membuat teman cewek sekelasnya memekik gemas. Terlalu ganteng dan lucu jika Dimas seperti itu.

“Maaf, Bu. Tadi saya ngantuk.”

“Kamu—“

Beeb! Bel istirahat berbunyi.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang