Dimas baru tidur dua jam, sungguh, tapi ia harus bersiap di pagi buta. Kakaknya yang sempat terluka sudah dibawa oleh pengawal lainnya, kini giliran Dimas yang dijaga ketat menuju deretan mobil di depan rumah. Earphone bertengger di telinganya dan tersambung dengan semua anggota. Jas hitam belum sempat Dimas pakai, dibawakan oleh Ilyasa.
"Semua aman?" tanya Dimas, memakai jas yang dibawa Ilyasa.
"Aman, Tuan. Anda bisa pergi sekarang," jawab Ilyasa.
"Bersama siapa aku pergi ke Flurial Corp?"
"Tuan Brayn dan Tyrana, saya bertugas di sini atas perintah Tuan Besar."
Jawaban anggukan menyudahi dialog pagi buta itu, Dimas segera masuk ke dalam mobil dan dibawa menuju tempat pertemuan di salah satu bar. Ya, Flurial Corp. Adalah perusahaan casino dan bar ternama di negara ini. Dimas melihat jam di layar ponselnya, 04.45, apa perlu ia menghubungi Reya?
"Tuan Dimas, perjalanan masih cukup lama, Anda bisa istirahat lebih dulu," ucap Tyrana dari kursi depan.
Benar, ini pertemuan besar, ia tidak boleh kurang konsentrasi sedikit pun.
Mematikan ponsel, Dimas serahkan pada sekretarisnya itu.
"Tolong jaga ponselku, Tyrana."
"Baik, Tuan."
Lampu belakang dimatikan oleh sang sopir, membiarkan Dimas lanjutkan tidur yang baru dua jam.
♧♧♧
"Nona Reya?"
Sepagi ini? Batin Reya. Ia baru saja bangun, niatnya bangun lebih awal agar bisa mengerjakan soal-soal yang belum ia jawab kemarin. Baru saja ia selesai mandi, pintu diketuk pelan.
Reya malas keluar, dia hanya menekan intercom untuk bertanya, "Madam Eca, ada apa?"
"Nona, Tuan sudah menunggu di meja makan untuk sarapan bersama."
Kening Reya mengerut cepat, Tuan? Tuan Besar? Sang Ayah? Wajah Reya berubah keruh. Jemari yang tadi masih memegang pensil, berkepal erat.
Bayangan air gelembung yang menghantam tubuhnya, teriakan dalam air, terlintas gelap di pandangan Reya. Tidak, Reya belum siap bertemu lagi dengan sang Ayah setelah kejadian hari itu.
"Bisa bilang aku masih tidur, Madam Eca?"
"Masih tidur tapi bisa menekan intercom?" Itu, suara sang Ayah.
Pensil yang digenggam terlepas saat Reya mundur terlonjak, deru napasnya gusar. Tidak, ia harus tenang.
"A-Papah?"
"Keluar sayang, Papa ingin bertemu."
Reya mengepalkan tangan tak tentu, mengusap bibirnya gugup.
"Baik, Pa. Reya siap-siap dahulu."
Memejamkan mata erat, Reya menghela lelah. Gadis itu melirik setiap sudut kamar, haruskah ia kabur? Tetapi pengecut sekali rasanya. Ia harus hadapi semua.
Setelah mengeringkan keringat dan gugup, Reya bereskan meja belajar dan bawa tasnya keluar kamar. Dari balkon ia bisa melihat sang Ayah menempati kursi paling ujung, tempat yang biasanya di isi Madam Fatma.
"Morning, my flower," sapa Zio seraya tersenyum tipis.
Lidah Reya kelu rasanya walau hanya membalas sapaan. Gadis itu tersenyum lebih dulu, duduk tepat di seberang sang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
Teen FictionHidup Dimas penuh cacat logika setelah mengikuti wasiat sang adik. Jalani peran playboy kelas atas ia harus temukan gadis bernama Reya, gadis berambut cokelat pujaan sang adik. Yang namanya wasiat, ternyata keterpujaan sang adik turut dirasakan Dim...