“Astaga, harus banget main pukul-pukulan?” tanya Siska tak suka, menempelkan kapas terakhir di sudut bibir Dimas. Teras rumah yang luas sering menjadi saksi bisu bagaimana Siska mengobati Dimas yang terluka. Dimas benci diobati di rumah sakit, tempat pengap yang ingatkan dia ke Sullivan, apalagi orang lain menyentuh kulitnya kala terluka. Katanya, Dimas lagi lemah tidak boleh dilihat orang.
“Gak sengaja kena sikut temen, bangsat emang,” sungut Dimas kembali kesal.
Siska menepuk bahu Dimas, mengingatkan jika ucapan Dimas tidak baik.
“Mau minum dulu?” tawar Siska.
Dimas menggeleng, memainkan rambut Siska sebelum menjawab, “Aku harus pulang, ada berkas yang perlu dibaca ulang.”
“Hm, aku ngerti. Pulang gih, nanti jangan lupa makan.”
“Kok ngusir?” rajuk Dimas.
“Kok baper?” balas Siska tak mau kalah.
Mereka terkekeh geli lantas bangkit dari kursi. Berpisah selayaknya kekasih pada umumnya, Dimas mengecup dan mengusap rambut Siska dan pergi menuju motornya di luar pagar.
“Aku pulang dulu, kamu istirahat di rumah,” pesan Dimas sebelum keluar pagar.
Siska melambai dari balik pagar yang sudah tertutup, tersenyum cantik. Sebelum menaiki motornya cowok itu sempatnya memberi Flying Kiss yang membuat Siska geli bukan main.
Dan, motor besar Dimas melaju meninggalkan pekarangan rumah Siska. Terdengar interaksi klise mengenal mereka dikenal sepasang kekasih, tapi nyatanya Dimas tak pernah meresmikan hubungan mereka, ia hanya mengklaim bahwa Siska itu miliknya dan ia perlu menjaganya. Seolah Siska adalah salah satu tanggung jawabnya.
Jalanan lenggang membuat Dimas leluasa melihat sekitar, termasuk halte depan sekolah. Sepertinya dia melihat orang yang tak asing. Dia memutuskan memutar balik. Dimas menghentikan motornya di depan halte. Bersamaan itu ia juga membuka kaca helmnya, menatap seorang gadis yang duduk sendiri sambil menunduk di sana. Dari rambut saja, Dimas sudah tau itu siapa.
“Reya?”
Lambat, kepala itu terangkat memperlihatkan wajah gadis itu yang sembab. Dimas tak mengubah senyumnya sama sekali melihat keadaan buruk gadis itu. Dia hanya memberi kode pada Reya untuk segera naik ke atas motornya. Di keadaan seperti ini, Dimas tau seorang gadis tidak butuh tatapan belas kasihan. Hanya perlu dimengerti.
Dengan malas Reya melangkahkan kakinya, yang bahkan telanjang tanpa alas. Dress panjang hitam itu basah entah karena apa. Sambil membantu naik Dimas bisa merasakan suhu dingin gadis ini.
“Pegangan,” perintah Dimas sebelum menarik gas.
Reya lagi-lagi menurut. Dia memeluk perut Dimas tanpa ragu, semakin lama semakin erat. Beberapa detik berikutnya di bahu Dimas sudah merembes air. Satu hal yang Dimas tau sekarang, Reya sedang tidak baik-baik saja.
“Jalan-jalan, mau?” tawar Dimas.
Tanpa menunggu Reya protes, dia sudah menarik gas di atas rata-rata. Setelah berkeliling selama satu jam Dimas menghentikan motornya di tepi jembatan penyebrangan.
“Ikut gue,” ajak Dimas kemudian menggenggam jemari Reya lembut.
Mereka terus menaiki tangga sampai tiba di jembatan. Tepat di tengah, Dimas berhenti. Dia mengangkat tangan yang ia gunakan untuk menggenggam, menatap Reya masih dengan senyumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
Teen FictionHidup Dimas penuh cacat logika setelah mengikuti wasiat sang adik. Jalani peran playboy kelas atas ia harus temukan gadis bernama Reya, gadis berambut cokelat pujaan sang adik. Yang namanya wasiat, ternyata keterpujaan sang adik turut dirasakan Dim...