Keselamatan Siska itu nomor dua sehabis anggota keluarga, begitu prinsip Dimas. Bukan bucin, Dimas itu tertampar realita berkali-kali jika ingat apa yang Siska korbankan. Dulu Ayah gadis ini memiliki koneksi paling besar di Indonesia. Apa yang Siska pinta akan dikabulkan dengan satu anggukan Ayahnya, tapi dengan satu syarat, Siska berhenti melukis. Padahal Dimas dan Siska sejak kecil suka dengan bidang itu, dan begitu beranjak dewasa, semuanya bertolak belakang.
Saat mereka berumur sepuluh tahun adalah puncak mereka kian dekat, karena perceraian orang tua Siska dan usia untuk melindungi dari diri Dimas mulai tumbuh. Semuanya berjalan lancar hingga mereka sedekat saat ini. Apa pun mengenai Siska, Dimas harus tau.
Seperti saat ini, Dimas dihubungi pembantu Siska bahwa gadis itu demam. Dimas yang tadinya baru pulang sehabis menjemput Kakaknya dari villa, segera mendatangi rumah Siska.
“Belum ngantuk juga?” tanya Dimas, cowok itu melirik jam dinding, sudah jam sembilan malam.
Siska mengangguk dalam pelukan Dimas. Mereka sedang menonton tv di sofa kamar Siska, padahal Dimas sudah cerewet menyuruh Siska tidur.
“Tante kapan pulangnya?” tanya Dimas sambil melirik Siska, gadis itu terus menggosok hidungnya sampai memerah lalu menggeleng kecil.
“Jangan digituin, nanti luka,” cegah Dimas seraya menahan tangan Siska, menggenggamnya halus.
“Gatel, Dimas,” rengek Siska dengan suara serak.
“Iya nanti juga ilang. Jadi, tante kapan pulangnya?” tanya ulang Dimas.
“Lusa? Gak tau.”
Dimas mendesah gelisah, jika begitu terpaksa dia menginap. Lagi pula di sudah mengirim pesan ke Bundanya. Jika menginap itu bukan masalah besar pula.
“Ya udah, kamu tidur.”
Dimas kembali menyandarkan kepala Siska di dadanya. Mengelus rambutnya pelan sebelum akhirnya menggendong tubuh kecil Siska menuju ranjang.
“Kalo ada apa-apa panggil aku, huum?” pesan Dimas setelah menyelimuti gadis itu.
Siska hanya mengangguk kecil. Dimas matikan AC kamar Siska sebelum menutup kamar itu rapat. Dimas memutuskan untuk turun ke ruang bersantai di lantai satu. Memilih dapur sebagai tempat singgah. Baru saja ia akan duduk seorang wanita paruh baya menghampirinya.
“Den?”
“Kenapa, Bi?” tanya Dimas.
“Anu Den Dimas, apa perlu bibi hubungin Nyonya?” tanya wanita itu sopan.
Dimas mengangguk mengiyakan, “Kabari saja, tapi jangan sampai Tante Ane pulang, bilang ada Dimas yang jagain.”
“Baik, Den Dimas. Tapi Den, bener Non Siska gak papa?”
“Gak papa, Siska cuman demam. Bi Siah istirahat aja, nanti kalo saya butuh apa-apa manggil bibi.”
“Ya sudah kalau begitu, saya permisi.”
Wanita itu meninggalkan dapur. Karena masih dalam posisi berdiri, Dimas melangkah menuju pantry untuk membuat segelas kopi. Menunggu mesin mengisi gelas penuh, Dimas mengecek ponselnya, begitu banyak pesan dari teman dan sekretarisnya menanyakan kabar Siska. Setelah membalas beberapa pesan Dimas meletakkan ponselnya, memijat pelipis pelan. Dia sudah mengantuk tapi takut Siska membutuhkan sesuatu.
Hening yang melingkupi rumah ini, menarik Dimas untuk melamun sebentar. Mengingat betapa ramainya rumah ini saat ia masih kecil. Sebelum akhirnya Ane—Mamah Siska, memutuskan bercerai dan mengambil hak asuh Siska. Rumah ini menjadi sepi, tidak ada lagi Sullivan yang mengomel saat mainannya direbut Siska. Mungkin ini yang menjadikan Dimas alasan kenapa menyayangi Siska. Kesepian ini, rasa sepi yang merubah Siska menjadi pribadi lembut yang tak tersentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
Teen FictionHidup Dimas penuh cacat logika setelah mengikuti wasiat sang adik. Jalani peran playboy kelas atas ia harus temukan gadis bernama Reya, gadis berambut cokelat pujaan sang adik. Yang namanya wasiat, ternyata keterpujaan sang adik turut dirasakan Dim...