D; Delapan belas

12.7K 931 77
                                    

"Pembangunan mall akan dilanjutkan, ambil alih segera dan kembali ke Indonesia."

Rintik air mengenai jendela bulat di mana Dimas bisa lihat kota di bawah mulai mendekat. Pemberitahuan bahwa ia sudah tiba di tujuan membuat ia lepas headphone.

Sudah dua minggu lamanya dan ia belum lupakan hari itu. Dia benar-benar kehilangan Reya. Semua akun media sosial pun bahkan tak Dimas temukan. Ke mana gadis itu?

Ladies and gentlemen, as we start our descent, please make sure your seat backs and tray tables are their full upright position. Also make your seat belt—

"Barang bawaanmu sudah tersedia?" tanya gadis di sampingnya. Ah, benar, ia lupa bahwa Siska turut ikut.

Dimas tersenyum lalu mengangguk, "Jangan pikirkan itu, akan dibawakan Brayn. Pakai sabuk pengamanmu dengan benar."

Mau tak mau Siska tersenyum saat Dimas membenarkan posisi sabuk pengamannya, sikap Dimas berubah total sejak hari itu. Dia benar-benar meninggalkan kepribadian Dimas Sullivan Putra dan kembali pada sikapnya yang dewasa.

Landing berhasil walau hujan masih mengguyur Apron. Beberapa payung tersedia kala Dimas keluar dari pintu pesawat, itu pasti orang suruhan sang Papa. Dimas ambil masuk ke satu payung dan berjalan santai bersama pria berseragam hitam, Siska sudah berjalan lebih dulu di depannya.

Sambil melangkah ia buka ponsel yang dimatikan selama take-off, banyak sekali panggilan termasuk dari Rama. Ia tak bisa hubungi mereka jika di depan orang-orang. Memasukkan kembali ke saku, ia memasuki terminal. Gapai bahu Siska untuk melangkah bersama.

"Dingin. Mau segelas kopi?" tawar gadis itu.

'Sure. Kamu juga belum makan."

"Ah, sudah kubilang aku diet. Acaranya lusa, Dimas."

Lusa, lusa. Bisa Dimas hilangkan bayangan Reya sebelum lusa itu datang. Tidak. Ia bahkan mengingat bagaimana Reya memeluknya erat di sini hari itu, meminta agar dirinya kembali lagi. Ya, kini ia kembali, tapi alasan ia datang bukan Reya.

"Tamu undangan cukup banyak, wah, pasti akan melelahkan. Yakan?" cerewet Siska.

"Aku bisa menggendongmu, apa masalahnya?"

Siska tertawa anggun dan memukul dada Dimas gemas. Ini akan berjalan lancar, Dimas harap. Pernikahannya. Semoga ia tak menemui Reya hingga lusa. Jika ia melihatnya sekali, mungkin ia tak akan bisa lanjutkan lagi.

"Dimas, kita pulang saja, ya? Aku ingin cepat-cepat tidur. Boleh datang ke apartemenmu tidak? Boleh, ya?"

Anggukan palsu serta senyum palsu. Dimas lelah tapi sudah terbiasa. Ia akan lakukan ini. Demi kembali ke jalannya yang lurus. Cukup Reya menjadi persimpangan terakhirnya.

♧♧♧

Bunyi notifikasi banyak sekali saat Reya berjalan di koridor. Beberapa pasang mata melihat ke arahnya. Bisikkan ucapan bagus dan tak percaya. Mata cokelat Reya tak goyah dengan keadaan sekitar, pasti topiknya sama, permainan Reya di kelas seni kemarin. Itu pula sebab ia dipanggil ke ruangan guru.

"Woah, kamu kenapa baru muncul sekarang, Reya?" tanya guru seni kagum.

Reya hanya tersenyum lebar, ucapkan terima kasih begitu tipis.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang