D; Tujuh belas

11.5K 929 30
                                    

Sial, Dimas lupa akan menghubungi Rama sepulang dari pertemuan. Ia hafal betul urutan pertemuan akan berakhir di celab, minum berkedok pendekatan antar kolega. Walau toleransi alkohol Dimas bagus tapi mabuk tetaplah mabuk. Typsi pagi ini cukup gila. Berdiri pun hanya beberapa detik lalu ambruk lagi.

"Tuhannn," rengek Dimas, gapai sisi ranjang berusaha berdiri tegak, ah, tubuhnya terasa patah di mana-mana, cermin besar lihat kan pemandangan tubuhnya yang hanya pakai celana bekas kemarin, kapan ia buka baju pun ia lupa.

Double sial, jadwalnya hari itu ternyata padat. Mau tak mau harinya akan dilalui dengan efek mabuk yang sungguh gila. Persiapan Dimas memakan waktu lama, pukul sebelas siang adalah waktu ia keluar kamar. Bersama wajah piasnya ia turun bersama Brayn.

"Jadwal Anda memang padat, tapi sudah telat hingga tiga jadwal. Kenapa tidak sekalian Anda libur saja hari ini, he?" tanya Brayn, nada sarkasmenya cukup buat Dimas terkekeh miris.

Pusing Dimas datang lagi, ia sandarkan punggung ke dinding lift sebelum menjawab dengan candaan, "Jika mau mati di tangan Papaku, bisa saja."

Lift mereka tiba di basemen, Dimas yang kini bisa ke mana pun tanpa pengawalan keluar bebas, ikuti Brayn cari mobil mereka dengan menekan kunci mobil. Ada di B1.

"Aku ingin menyetir," ucap Dimas tiba-tiba.

"Jika Anda ingin mati sungguhan, Tuan."

Gelak tawa Dimas bergema, tak jadi buka pintu kemudi melainkan pintu belakang. Ilyasa biasanya yang akan jadi sopir sekaligus pengawal, sayang lelaki itu cuti satu hari. Di situasi seperti ini? Bisa Dimas maklum, asal tak berkhianat padanya.

Pijat pelipis ringan, Dimas bergumam lelah, "Sakit kepala ini membunuhku."

Sambil menyetir Brayn lihat Dimas dari spion atas, beritahu solusi jitu, "Saya siapkan minuman penghilang pengar, coba Tuan lihat."

Dimas baru sadar ada totebag kecil di sampingnya, saat dibuka ada beberapa botol kaca. Hu, Dimas terharu dengan perhatian orang asing namun paling dekat dengannya ini. Alih-alih orang tuanya tak salah Dimas dekat bersama sekretaris dan pegawai pribadinya, ia benci ambusif parents.

Buka kaca jendela, Dimas berniat teguk minuman itu, tapi sebuah goncangan keras buat tubuhnya terhentak ke depan, sangat keras hingga dahinya terbentur. Sial, barusan belakang mobilnya ditabrak. Kemudi Brayn oleng ke samping lalu menabrak trotoar, terhenti oleh rem yang membekas di aspal.

"YAK!" teriak Dimas geram, usap dahinya untuk kurangi sakit kepala, pandangannya buram sekejap kala ingin tau siapa siluet yang hampiri samping pintunya. Klek, pintu dibuka dari luar.

"Dimas," panggilnya, pandangan buram Dimas tau kalau orang ini laki-laki dan tersenyum lebar, ulurkan tangannya agar bisa membantu keluar.

"What are you fucking do, bastard?"

"It's me, bastard," ucapnya, menepuk pipi Dimas keras, "Rama!"

"Wh—" Dimas tak diberi kesempatan untuk sadar, kerah bajunya ditarik cepat sampai berdiri terpaksa keluar dari mobil, "aduh, heh, kepala gue astaga."

"Sama-sama," balas laki-laki itu, ah, Rama.

Mobil lain yang tadi menabrak bagian belakang terdapat tak jauh dari sana, Rama menariknya tanpa beban dan rasa takut, ia masih marah sebab diberi tugas luar biasa dari temannya itu. Coba lepaskan diri, Dimas menarik cengkeraman Rama, sayangnya ia terlalu pusing untuk berontak.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang