D; Dua puluh

12.9K 835 90
                                    

Bagai anak dari seorang pemilik perusahaan furniture terbesar yang sesungguhnya mulai Dimas rasakan. Pewaris, itu julukannya. Dilindungi ketika ke sana kemari menghadiri acara lelang, menemani Sullivan terapi hingga Dimas memiliki galeri seni sendiri yang diurus teman-teman satu club basketnya dulu.

Perubahan yang temani kekosongan Dimas, ia harus kembalikan menjadi normal. Menghilangkan keinginan mencari Reya dan menata langkah semakin tegas. Dimas bukan pribadi menyerah begitu saja jika dia tidak menghadapi sosok Reya kemarin. Jadi bisa ditentukan sekarang Reya membawa pengaruh baik karena bisa membuat Dimas tau hati nurani terhadap wanita, tapi juga membawa pengaruh buruk terhadap kinerja logis Dimas. Mungkin itu yang Rama tak suka sejak pertama Dimas melakukan hal gila untuk seorang gadis.

Ya, Dimas kembali seperti sedia kala. Berpikir jeli dan penuh pertimbangan. Sosok anak laki-laki terpintar di keluarga Agung Putra. Bibirnya selalu tersenyum lebar hingga kedua mata menyipit. Entah, seperti ada sosok lain bahagia dalam dirinya.

Setiap akhir pekan seperti sekarang, Dimas akan bangun lebih pagi untuk melakukan olahraga di ruangan pribadinya. Rambut yang satu tahun lalu hampir melalui bahu lebarnya, kini terpangkas rapi dengan warna dark grey.

Dimas memperlambat kecepatan pada alat treadmill karena ponselnya bergetar. Musik yang ia dengar lewat earphone harus ia hentikan dahulu dan beralih ke panggilan.

"Dimas Anggara Putra di sini, silakan hubungi lagi setelah saya selesai olahraga."

Dimas hampir menutup panggilan jika tidak mendengar pekik garang dari seberang, "Eh, Bos setan! Kenapa ganti pin ruang pribadi lo?! Gue bawa berkas pameran ini!"

Sontak cowok yang tahun ini menginjak umur 27 tahun itu terkekeh jahil, semakin memperlambat hingga berhenti. Sepatu hitamnya beralih turun ke lantai dan menghampiri pintu. Setelah memasukkan empat digit angka baru pintu itu dibuka santai.

"Shit!" ucap Dirga mengumpat alih-alih menyapa tuan rumah.

Dimas mengendikan bahu refleks, "Gue cuman mengurangi potensi kejadian minggu lalu lo liat gue olahraga sambil telanjang dada. Gini-gini gue malu, lho."

Bola mata Dirga berotasi jijik, sambil berjalan masuk hingga menubruk sisi bahu Dimas, Dirga berceletuk sadis, "Badan lo gak bikin nafsu."

Beruntung pintu sudah tertutup kembali sehingga jika Dimas mengumpat pun tidak ada yang mendengar.

"Anjing, ya. Gue dapet sekretaris gak ada yang bermutu dari dulu."

"Kalo gitu gue ngundurin diri," sahut Dirga enteng, tapi tatapan dan kedua tangannya sibuk mencari sesuatu di meja Dimas.

"Boleh. Besoknya lo gue bunuh, gimana?" tanya Dimas mengikuti sifat santai Dirga, sambil membuka tutup botol air netra safirnya menelisik apa yang sedang Dirga cari.

"Gue cuman sekretaris Sullivan, bukan lo," balasnya tetap enteng.

"Lo cari apa?" Dimas mengalihkan topik bercandaan mereka, mulai mengerti Dirga kebingungan mencari sesuatu. Dia tidak akan semarah itu jika bukan hal penting.

"Jadwal pertemuan lo sama aspresiator Jerman ada di meja kamar lo," Justru jawaban Dirga melenceng dari pertanyaan bingung Dimas, membuat Dimas semakin curiga kala Dirga mencari ke kolong meja.

"Lo nyari ini?" Dimas merogoh saku celana trainingnya, mengeluarkan sebuah kalung emas putih. Bibirnya perlahan naik membentuk smirk.

Dengan napas sedikit ngos-ngosan, Dirga stagnan di tempat. Melihat Dirga tidak bisa berkata apa-apa, Dimas memutuskan untuk mendekat. Sambil menggoyangkan kalung itu di jari telunjuknya, senyum Dirga semakin tertarik jahil.

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang