D; Dua puluh satu

9.1K 732 65
                                    

Dimas menatap hasil ct-scan otak dengan tatapan kosong. Retak di bagian pelipis. Sungguh ini bahaya sekali, tapi mendengar penjelasan Rama tentang keadaan Reya, Dimas hampir tak percaya Reya bisa berdiri dan tertawa seperti kemarin.

"Waktu di rooftop Reya hampir memanjat dinding pembatas, lo tau kan apa kemauan dia? Dia masih trauma sama masa kelam. Karena Siska belum puas, dia belum biarin Reya mati gitu aja. Niat Siska buat lumpuhin Reya tapi justru mengenai kepala. Alhasil, dia keliatan baik-baik aja pas liat lo. Selama ini Siska tutup rapat keberadaan Reya karena dia amnesia."

Sigh, terlalu berat untuk ditampung kepala Dimas. Ia menutupkan amplop rumah sakit di wajahnya, menahan agar air matanya tak terlihat.

"Dia tinggal di sebuah florist sejak dua bulan lalu sadar dari kritis."

Toko bunga yang kini ada di seberang jalan, ya, Dimas bisa melihat perempuan cantik bersinar karena terkena sinar mentari pagi. Tangan putihnya begitu lentik sedang menata letak bunga di sepanjang teras toko.

Bolehkah Dimas menyapanya?

Senyum Reya lebar sekali menatap hasil kerja kerasnya sebelum ambil dus berisi bunga layu. Dipeluk dus itu tanpa kesulitan dengan perut besarnya, melangkah menuju pintu. Oh sungguh, membuka pintu yang akan sulit. Reya berniat gunakan bahu, tapi begitu terkejut ketika sebuah tangan mendorongkan pintu.

Baik Reya mau pun sang pembuka pintu sama-sama beradu pandang, coba kenali satu sama lain. Yang pertama terbitkan senyum adalah Reya, manis sekali hingga giginya terlihat.

"O, Tuan Dimas?"

Dimas mengangguk gugup, "O—oh, selamat pagi, Nona Reya.'

"Ei ... jangan panggil seperti itu. Terima kasih sudah membantu," ucap Reya, begitu anggun persilahkan Dimas masuk.

Dimas sebenarnya tak suka bunga, tapi bisa melihat eksistensi gadis ini akan coba Dimas abaikan. Kenapa Reya terlihat tiga kali lipat cantik, tolong bantu jelaskan pada Dimas. Apalagi setelah menyimpan dus tadi, dress biru itu sangat cocok di tubuh tingginya.

"Tuan Dimas ingin beli bunga?" tanya Reya, tiba-tiba menepuk jidat, "ah, kenapa aku tidak sopan sekali. Tuan duduk dahulu, biar aku buatkan kopi."

Buatkan kopi, tubuh Dimas merinding, ini seperti momen suami perhatikan istrinya tengah hamil buatkan secangkir kopi. Dimas ingin menangis. Lelaki itu menurut untuk duduk di kursi kasir, tatap setiap gerak gerik Reya di ujung ruangan. Sungguh, Dimas tak bosan gumamkan cantik.

"Tuan ingin bunga seperti apa?" tanya Reya seraya berjalan, bawa cangkir kopi ke hadapan Dimas. "Uh, hanya kopi instan, tak apa? Aku dilarang meminum kafein jadi tak berani beli mesin kopi."

Reya cerewet. Ini yang masih sama. Bibir manis itu kini banyak tersenyum bukan lontarkan ucapan sadis.

Sedikit kesulitan kala naik ke kursi, Reya bernapas terengah sebelum bertanya lagi, "Bunga untuk Mbak Siska, ya? Hmm, sweet deh, Tuan."

Dimas tersenyum tipis lalu mengangguk, ia tak fokus untuk jawab sepatah kata pun. Saat berkedip ia tak sengaja melihat benjolan di dress bagian perut. Barulah Dimas buka suara.

"Oh, dia—"

"Tendangan mini," potong Reya, "abaikan saja. Mau aku rekomendasikan bunganya?"

Enyahlah wahai topik tentang bunga, itu harapan Dimas, tapi kentara sekali jika ia ubah arah pembicaraan begitu saja. Menjawab, "Sure," dan seruput kopi, Dimas biarkan Reya turun dari kursi dan dekati beberapa pot bunga.

"Tendangannya kuat sekali, usia berapa?" Wajar bukan seorang ayah ingin tau umur anaknya, tapi kenapa terdengar menyakitkan pertanyaan Dimas ini.

Reya menjawab sambil terus memilah tangkai bunga, "35 minggu, kemarin aku sudah melihat wajahnya, tentu saja kuat karena dia laki-laki."

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang