Dimas ingin memotong jarinya, sungguh. Tak ada hentinya ia menatap cincin yang tersemat di jari manis. Desis sinis pun enggan sembuhkan pedih di lubuk hati Dimas, seolah terkoyak oleh perbuatannya sendiri. Menelan ludah pahit, lelaki itu lanjutkan memasang kancing kemeja. Konon jadwal hari ini akan ada sarapan di garden hotel.
Setelah penampilannya rapi di cermin, ia balik badan untuk ambil dompet dari tempat tidur. Karena posisi yang bersampingan dengan ponsel, panggilan masuk alihkan perhatian Dimas. Nama Rama tertera di sana. Periksa sekitar dahulu sebelum angkat panggilan, ia memilih masuk ke kamar mandi.
"Everything is okay?" tanya dari seberang.
Dimas sengaja nyalakan keran air, baru menjawab letih, "Until now, gue okay. Pagi ini ada acara di garden hall, siangnya gue pergi ke lapangan golf, kalo ada apa-apa sama Reya hubungin gue."
Di situasi Rama, lelaki itu tengah menatap terlelapnya Reya dari jendela pintu. Ia rasa kondisi akan aman jika tidak ada yang bocor. Melangkah pergi, Rama lanjutkan bicara, "Siska gak bisa dibiarin, Dim. Lo ada rencana?"
"Terlalu bahaya," balas Dimas, "bukan cuman hubungan gue sama Papa yang diancam, tapi juga nyawa Reya, lo liat perbuatan Siska kemarin."
"Diem aja juga bukan jalan terbaik, Dim." Rama terhenti di tangga darurat, putuskan duduk di sana, "apa gue bilang, jangan pernah terlibat sama Reya, rumit kan sekarang?"
Dimas menghela kasar, "Gue gak pernah nyesel kenal Reya lebih jauh. Tugas lo saat ini jaga dia, bukan salahin gue. Paham?"
Rama hanya bisa membuang tatapan, Dimas anak paling keras kepala. Ia pilin ujung jaketnya sebelum lontarkan satu pertanyaan, "Dim, seandainya Reya tau, gimana?" Ya, Rama tak tau harus lakukan apa jika melihat wajah kecewa seorang perempuan. Ia tak handal dalam hal ini.
Matikan keran, jemari Dimas terkepal dingin di atas wastafel. Jujur ia pun bingung. Tapi mau tak mau Dimas harus ambil keputusan. Bersiap keluar kamar mandi, Dimas keluarkan ultimatum bulat,
"Gue yang bakal jelasin langsung ke dia."
Baru saja pintu kamar mandi dibuka, wajah angkuh menyambut Dimas. Ponsel yang belum jauh dari telinganya diremas erat, tahan umpatan di ujung lidah. Gadis di depannya itu lipat kedua tangan, kunyah permen karet sambil tersenyum.
"Minggir," suruh Dimas, lewati Siska yang sudah siap. Ia tebak pasti niatnya ingin menjemput dirinya.
"Ngapain sembunyi-sembunyi?" tanya Siska, sayangnya Dimas tak menjawab, ambil kaca mata buru-buru lantas menuju pintu keluar.
"Dimas."
Peduli setan, Dimas tinggalkan Siska di belakang, biarkan gadis itu mengikuti langkah lebarnya. Lorong hotel terlalu sepi untuk Dimas hiraukan langkah gema sepatu Siska yang terhenti mendadak, disusul ucapan bossy gadis itu.
"Berani dong cari tau keadaan Reya."
Terpaku cepat sekali hingga Dimas memutar tubuh tanpa jeda, tatap Siska yang tengah memainkan ponsel. Selang beberapa detik terdengar isi percakapan Dimas dan Rama di panggilan tadi. Sial, senyum miring Siska buktikan jika ponselnya disadap gadis itu. Bergemelatuk geram, ia dekati Siska penuh emosi untuk gapai kedua bahu terbukanya.
Sedikit mengguncang tubuh Siska, Dimas berteriak kehilangan kesabaran, "Sadar, Si! Lo bukan iblis kejam kayak gue, sadar!"
"Lo yang sadar!" sentak Siska, "mau sampai kapan lo perjuangin jalang kaya Reya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Sin
Teen FictionHidup Dimas penuh cacat logika setelah mengikuti wasiat sang adik. Jalani peran playboy kelas atas ia harus temukan gadis bernama Reya, gadis berambut cokelat pujaan sang adik. Yang namanya wasiat, ternyata keterpujaan sang adik turut dirasakan Dim...