D; Delapan

14K 868 31
                                    

Reya Raisa, begitu Dimas membaca name tag gadis ini memang ada hal yang tidak beres. Reya bukan gadis cepat tersentuh, galak, tidak suka ditatap lama, benci diganggu, anti rayuan, dan yang terakhir, Reya seperti bergabung dengan orang-orang yang tidak menyukai Dimas atau sama dengan istilah haters.

Tapi hari ini, gadis berstatus haters Dimas paling depan, duduk di pangkuan cowok ini tanpa beban seperti di awal-awal, memainkan tuts begitu cantik dan mengeluarkan ujaran tak masuk akal bagi Dimas. Bahkan dengan intonasi sangatlah tenang.

"Gue mau jadi pacar lo."

Otomatis, dentingan piano tiba-tiba berhenti sejenak, bola safir Dimas sempat melirik Reya. Apa barusan Dimas berhalusinasi? Karena respon aneh Dimas, Reya turut melirik cowok itu. Tiba-tiba, Reya tersenyum tipis. Dengan amat terkejut, Dimas melotot. Ini baru pertama kali Reya mematri senyum di depan Dimas. Apa gadis ini serius?

"Kenapa?" Dimas malah bertanya atas keputusan Reya. Bukan apa-apa, Dimas masih terkejut.

Reya menggeleng kecil tak mampu menjawab. Tangan pucatnya menyentuh setiap jemari Dimas yang menekan tuts piano.

"Tapi gue mau lo jadi pacar gue karena ada alasan," ujar Dimas.

Reya menatap manik yang ternyata berwarna biru safir itu begitu indah jika dari dekat, seolah menenggelamkan dalam lautan dalam. Dia mainkan helai rambut sedikit keabu-abu-an Dimas lembut sambil berucap, "Gue rasa yang namanya cinta itu sebuah kenyamanan dan kebahagiaan. Dan gue nemuin itu semua di lo."

"Jadi lo cinta sama gue?" tanya Dimas.

"Baru nyaman," koreksi Reya.

Senyum Dimas terbit dan menjauhkan tangan dari tuts, dia ikut merapikan rambut Reya yang berantakkan. "Jangan bohong, Ya. Cinta gue gak pernah sempurna. Sesuai apa yang sering lo bilang, gue playboy, brengsek, bahkan sekarang gue punya lima pacar."

"Gue tau," balas Reya, "tapi lo gak sebrengsek yang gue kira setelah apa yang terjadi kemarin, maybe, gue bakal merasa beruntung bisa menjadi orang yang ada di antara pacar-pacar lo."

Dimas menggeleng seraya meletakkan telunjuknya di bibir Reya. Dia mengubah posisi Reya menjadi menghadapnya.

"Lo jangan pernah merasa beruntung memiliki hubungan dengan playboy, lo gak pantes buat dilakuin kayak gitu." Dimas menjeda sejenak, meraup udara sebanyak mungkin.

"Gue cuman nyari kenyamanan."

"Meski lo nyaman sama gue, gue gak mau bikin lo sakit gara-gara kelakuan gue, Ya."

"Karena sifat brengsek lo?"

Dimas bisa tersenyum lebar lantas mengangguk.

"Lo boleh nyaman sama gue, tapi enggak jadi pacar gue. Karena lo berbeda dari cewek lain. Lo gak pantes gue sakitin tapi pantesnya gue sayangin."

Reya berdecih pelan sebelum bangkit berdiri, lama-lama Reya kebas satu badan duduk di posisi seintim itu. Dimas sempat menatap tak terima, pastinya tadi sangat menguntungkan nafsu laki-laki dalam diri Dimas. Menang brengsek tetaplah brengsek, pikir Reya. Gadis itu memilih menyandarkan bokong di pinggir piano, memiringkan kepala sembari memandang Dimas.

"Playboy jago gombal, ya?" tanya Reya.

"Iyalah, kalo gak jago gak bisa gaet cewek."

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang