Epilog

7.8K 672 33
                                    

Angin sore terembus memasuki atap mobil yang terbuka. Jalan aspal hitam jadi ciri khas perumahan sekitar lima tahun ini Dimas tinggalkan. Wajah bersih nan bulatnya kini berubah menjadi rahang tegas serta ditumbuhi bulu-bulu tipis. Siapa sangka bola safir akan dimiliki olehnya saja, kala mobil merahnya terhenti di satu depan rumah anggun, ia bisa melihat pemilik mata safir lain tengah bermain mobil remot.

Mungkin setelan kemeja putih Dimas atau mobilnya yang jadi pusat perhatian sebab anak setinggi pahanya itu tiba-tiba berhenti bermain, tatap ke arah Dimas penuh tanda tanya. Akan Dimas maklum jika anak itu tak mengenalnya, ia sungguh meninggalkan Indonesia setelah menikahi Siska. Kalau saja mimpi tadi malam tak terjadi, Dimas tak akan nekat mendatangi rumah ini.

"Dad!" jerit anak itu, kentara sekali semakin takut akan keberadaan Dimas.

Atensi Dimas berubah ke pintu yang dibuka, keluar lelaki yang begitu mirip dengannya lima tahun lalu. Setiap inci, hingga caranya berbicara tegas pun.

"Daddy tak mengajarkanmu berteriak seperti gadis," mendatangi anak itu, lalu uluran tangannya disambut cepat. Dimas yakin lelaki itu sudah tau keberadaannya, maka saat menatapnya lekat dan terbitkan senyum cerah, Dimas selalu bersyukur Sullivan tak pernah marah.

Sullivan menunjuk ke arah Dimas, memberi tau anak kecil itu, "He's my brother, don't be scare, okay?"

Bola safirnya bertemu dengan bola safir Dimas, tatapan yang mungkin pertama kalinya dalam hidup Dimas. Dadanya runtuh, ia ingin menangis kencang. Bagaimana bisa anaknya tumbuh secepat itu.

Sedikit mendorong bahunya, Sullivan menyuruh lembut, "Jemput Uncle Dy."

"Uncle Dy?" beonya, mendongak untuk tatap sang Dady, "dia Uncle Dy, Dad?"

"Yes, He is."

Sullivan sengaja lepaskan genggaman tangannya, biarkan anak yang masih memakai piama tidur iron man itu hampiri mobil Dimas. Dimas tak tahan lagi, ia segera melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Benar adanya anak itu sebatas paha dirinya, lebih dekat ternyata rambutnya berwarna dark brown, sama seperti gadis itu.

Wajah takut tadi berubah sedikit ceria walau malu-malu, jari-jari mungilnya bertaut seolah gugup. Lucu sekali. Dimas perlahan berlutut, coba meraba rambut lembut sang anak. Merinding, Dimas rasakan sekujur tubuhnya disengat kenyataan. Apalagi saat anak itu bersuara.

"Thank you, Uncle Dy, Eggy suka helmet iron man dari Uncle," anak itu tiba-tiba menggeleng, "ah, bukan, kata Mommy Eggy bisa membayar dengan satu pelukan."

Tautan mungil tadi terlepas, Dimas sampai terharu sebab anak itu benar-benar merentangkan kedua tangan. Tentu saja ini kesempatan pertama Dimas. Tubuh mungil itu menempel pada tubuhnya, eratkan pelukan tangan mini di lehernya. Suara napasnya yang wangi akan selalu Dimas ingat sampai kapan pun.

"Ini rahasia," bisik anak itu, "Eggy lebih suka helmet dari Uncle dari pada mobil dari Daddy."

"Daddy mendengarnya," ucap Sullivan yang ternyata sudah di belakang mereka berdua. Anak kecil bernama Eggy itu langsung saja menoleh tanpa melepas pelukannya, melotot lucu.

"Dad! Kata Mommy menguping itu perbuatan keji, uh!"

Dimas tak kuasa untuk tak mengusap pipi bulat Eggy, tersenyum pun bukan definisi bahagia lagi, Dimas tak tau perbuatan baik apa hingga Tuhan mengizinkan ia bertemu buah hatinya.

"Bermain rahasia pun bukan perbuatan baik, Sayang," ucap Dimas. Suara bass miliknya cukup kejutkan Eggy, anak itu sampai melotot lebih lebar.

"Woah, suara Uncle lebih hebat dari di telepon. Dad, seperti suara robot!"

Tawa kedua lelaki dewasa tak bisa ditahan lagi, gemas luar biasa. Dimas ingin memeluk Eggy lebih lama tapi ucapan Sullivan berikutnya enggan untuk Dimas tolak.

"Reya sudah menunggumu di dalam."

Inilah perbedaan Dimas dan Sullivan, anak itu sangat bisa menahan keegoisannya. Sangat terbaca dari sikap tenangnya menjelaskan jika sesuatu yang sudah miliknya akan tetap jadi miliknya.

"Eggy, ayo mandi dulu, nanti kita main lagi."

Anak itu mengangguk lalu lepaskan pelukannya, berpesan sebelum pergi, "Uncle Dy jangan pulang dulu ya, kita harus main helmet bersama."

Dimas mengangguk patuh.

"Dia ada di akuarium belakang rumah," beritahu Sullivan.

Dimas benar-benar menemukan Reya. Gadis itu bukan sembarang gadis lagi, rambut panjangnya dipangkas sebahu, dari belakang saja sudah tampak lebih dewasa. Dress selutut pasti akan dipakai oleh wanita hamil, bukan? Dimas tak menyangka akan menemui perempuan ini dalam keadaan mengandung lagi.

"Walau aku belum mengingat semuanya," tiba-tiba Reya berucap tanpa berbalik, tetap menatap ribuan ikan kecil di dalam akuarium, "aku tau kamu melakukan ini semua bukan tanpa alasan."

Dada Dimas sesak kala gadis itu berbalik, cantik, itu yang pertama kali terpintas. Senyum tipisnya sangat anggun, jari lentiknya simpan tempat makan ikan sebelum mendekati Dimas, ulurkan tangan padanya.

"Senang bertemu denganmu lagi, Eggy's Dad."

*End*

Beautiful SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang