letter

97 18 1
                                    

Rara berjalan di depan parkiran sekolahnya. Rambut panjang yang diikat satu dengan poninya melambai-lambai saat dia berjalan dengan langkah cepat.

"Oi, Bagas!" panggil Rara. Gadis itu berlari sekuat tenaganya menghampiri lelaki yang di kelilingi banyak orang itu.

Nafasnya menjadi terengah-engah akibat kegiatannya itu.

Rara mengambil sebuah amplop dari dalam saku seragamnya. "Ini apa?!" todong Rara.

Bagas mengernyit tidak paham. "Amplop," jawab Bagas polos.

Rara berdecak. Dengan berani dia langsung mendorong dada Bagas kasar dengan satu telunjuknya, kilatan emosi menyala-nyala di matanya. "Halah! Nggak usah pura-pura nggak tahu deh, lo!" bnetak Rara. Teman-teman Bagas langsung berubah siaga menghalangi Bagas di depan Rara. Rara semakin marah.

"Banci! Urusan pribadi ngapain bawa-bawa anak buah?!" teriak Rara. Bagas langsung mengangkat satu tangannya menyuruh teman-temannya untuk minggir.

"Gue udah bilang lo nggak usah sok peduli sama kondisi gue ataupun keluarga gue!"

"Gue nggak ngerti maksud lo apa!" Bagas balik berteriak. Bukannya takut Rara justru semakin mengangkat dagunya. "Dan gue nggak nyuruh lo buat nungguin bokap gue di rumah sakit sampai subuh!"

Bagas benar-benar sudah menautkan alisnya saking bingung. "Gue nggak nungguin bokap lo sampai subuh! Lo sendiri yang ngusir gue kemarin dan gue langsung pulang setelah itu."

"Oke fine! Cowok yang di bilang suster nungguin di depan pintu kamar bokap gue emang bukan lo. Tapi kalau ini!" Rara kembali memgangkat amplop putih itu. "Ini dari lo kan!"

"Gue nggak pernah ngasih apa-apa!" bentak Bagas.

Rara bungkam, kini dia yang menautkan kedua alisnya, sekarang dia yang terkejut dan bingung. "Kalau bukan lo dari siapa lagi?"

Bagas memaikkan kedua bahunya. Tiba-tiba seseorang datang dari arah belakang Rara.

Tangannya di masukkan kedalam dua saku celana. Tas masih berada di punggung lelaki itu.

"Dari gue," ucap cowok itu tiba-tiba.

Rara terkejut bukan main. Tidak pernah Rara menduga sebelumnya.

"L-lo anak baru itu, kan? Egy?" tanya Rara.

Egy mengangguk sambil tersenyum simpul.

"Lo bohongi gue? Kita bahkan nggak saling akrab."

"Terserah tapi itu emang dari gue," ucap Egy

Rara masih menautkan alisnya. Dia berdecak, menatap tajam Bagas lalu menatap tajam Egy pula.

Rara pergi melalui mereka semua, menuju di belakang mushola. Rara mengeluarkan amplop dari dalam saku seragamnya lagi.

Dia mulai membuka amplop itu. Awalnya berisi sejumlah uang dan surat namun kini hanya tinggal suratnya saja karena uangnya sudah Rara simpan di tempat yang aman.

Rara membacanya berulang kali agar tahu makna di balik isi surat itu.

Cepat sembuh untuk ayah lo, Ra.
I love you.
-dari gue-

"Anj*ng! Gblk! Mana gue tahu 'dari gue' itu siapa, ogeb!!" maki Rara.

"ARGHHHHH!!! Nggak mungkun si Egy tai itu yang ngasih! Mustahil!" geram Rara.

"Tapi kalau emang bener Egy maksudnya apaan coba? IHHHH!" Rara frustasi.

"Ra!" Tiba-tiba Ima datang. "Sorry kalau gue ganggu lo."

Rara menaikkan satu alisnya.

"Gue denger apa yang lo omongin sama Bagas tadi, soal amplop. Gue harap bokapnya Bagas nggak akan pernah tau!" ucap Ima.

"Lo ngomong apa sih? Mau bikin gue makin stres?!" bentak Rara.

"Sorry kalau gue lancang sama lo, tapi kalau bokapnya Bagas sampai tau, lo bisa di pecat!" Raut wajah Ima menjadi serius.

Rara tersenyum miring, meremehkan apa yang dikatakan oleh Rara. "Kalau lo mau keluar dari geng gue nggak papa! Atau lo coba bunuh diri sekarang?" tantang Rara.

_________

Hanif mendesah berat. Cowok itu mengintip dari balik dinding.

"Itu dari gue, Ra," batin Hanif frustasi.

Harusnya dia memang tidak usah memberi surat itu.

_______

Cut cut! Udh update ya hehe..

-yxxnvrwlkaln-

𝙰𝚗𝚐𝚔𝚊𝚜𝚊 𝙱𝚒𝚛𝚞[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang