delapan

1.1K 106 14
                                    

Vote dulu sebelum membaca. Sedih tauk kalau kalian baca doang tanpa nge-vote. Ini juga yang buat kurang semangat buat lanjut:"
.
.
.

Begitu sampai restoran, Arga langsung memeluk pinggang Diva posesif. Baru sampai saja Arga sudah dibuat kesal karena Diva dilihatin oleh beberapa tamu di sini. Diva sepertinya sudah tahu kenapa Arga tiba-tiba memeluk erat pinggangnya.

"Assalamualaikum, Ayah, Bunda, Dira," sapa Diva dan Arga bersamaan.

"Waalaikumsalam," jawab ketiganya serentak. "Aa Kak Diva sini duduk dekat Dira," ucap Dira bersemangat.

Ayah, bunda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, berbeda dengan Arga yang menatap tajam sang adik.

"Awas keluar matanya, Bang," ejek Dira.

Arga mengabaikan ucapan adiknya itu. Dia menarik kursi buat Diva lalu duduk di sampingnya yang sebelumnya mereka sudah  menyalam ayah dan bunda.

"Makasih, Mas."

"Sama-sama, Sayang."

Lalu mereka semua makan terlebih dahulu karena ayah dan bunda sudah memesan berbagai jenis makanan. Ini yang membuat Diva selalu merindukan kedua orangtuanya. Kehangatan keluarga Arga, canda tawa yang ada, bahkan kemanjaan keduanya membuat hati Diva tersentil.

Terkadang dia memikirkan kenapa Allah tidak adil kepadanya. Harusnya dia masih bisa bahagia bersama kedua orangtuanya. Di saat masih butuh, semuanya pergi dan tak akan kembali. Tapi balik lagi, ini sudah takdir.

***

"Arga?"

"Iya, Yah?"

"Sebenarnya ada yang mau ayah bicarakan, tapi ayah harap kamu tidak menolaknya, Nak."

Arga mengernyit pertanda ia bingung atas ucapan sang ayah. Arga memandangi ayahnya lekat seakan bertanya ada apa yah?

"Kamu sudah berumah tangga, sudah sepantasnya kamu bisa untuk menafkahin Diva. Bahkan sebentar lagi kamu juga harus bisa menghidupi Diva beserta anak-anak kalian, ja—"

Uhuk! Uhuk!

"Ya Allah, Yang! Nih minum dulu." Dengan cekatan Arga memberikan minum kepada Diva.

Muka Diva memerah, bukan karena tersedak melainkan karena ucapan ayah mertuanya yang menyangkut soal anak. Entah kenapa Diva selalu menjadi malu kala membahas tentang hal ini. Selain itu dia juga merasa bersalah karena belum bisa memberi hak sepenuhnya ke Arga.

"Hm, maaf, Ayah, Bunda," ucap Diva sopan karna secara tidak langsung memberhentikan omongan ayahnya.

"Nggak apa, Nak, pelan-pelan makannya," ucap ayah yang membuat Diva tertunduk malu.

"Gimana tadi, Yah?" tanya Arga.

"Ya itu, Arga udah jadi suami dan harusnya Arga bisa memberi Diva nafkah bukan hanya batin tapi lahirnya juga." Arga mengangguk mengerti walaupun sampai saat ini dia masih belum memberi nafkah apapun ke Diva.

"Ayah harap kamu terima ini." Ayah menyodorkan uang di dalam amplop ke Arga dalam jumlah yang tidak sedikit.

"Pakai ini buat mulai usahamu sendiri, Nak. Kamu dari dulu pengen 'kan punya kafe? Ayah yakin uang yang kamu kumpulin itu akan lama sementara kamu sudah ada Diva sebagai tanggung jawabmu. Jadi, pakai ini tapi ingat, kamu gunakan sebaik-baiknya karena mulai hari ini ayah akan berhenti kasih uang apa pun untuk kamu dan Diva." Ayah berbicara sembari menatap lekat mata anak laki-lakinya ini.

Kekasih Halal (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang