Sembilanbelas

654 68 49
                                    

Suho masih berjongkok di depan kloset sejak sepuluh menit yang lalu. Ia terus mengeluarkan isi perutnya yang tak seberapa. Sepertinya efek demam belum sepenuhnya hilang, ditambah sejak tadi ia terus menghirup aroma kuat alkohol.

Ia memang lemah dalam urusan minum. Padahal ia hanya meminum satu gelas whisky dengan kadar alkohol paling rendah.

Bukan tanpa tujuan ia minum. Namun tak menyangka akan semerepotkan ini. Perutnya sudah kosong, tapi masih saja mual.

Dikeluarkannya sapu tangan, dan diseka keringat dingin yang menghiasi wajah. Kepalanya terasa berat dan berputar. Bodoh memang, saat orang dengan toleransi rendah berkunjung ke club malam dengan pelayanan terbaik.

Suho meraih ujung wastafel dengan gemetar. Rasa mual yang tak kunjung reda membuat aksinya terhambat.

Ia pun membasuh wajah berkali-kali. Lama dipandangi pantulan diri dalam cermin. Masa bodoh dengan wajah pucat, toh tanpa demam pun ia juga memiliki kulit pucat.

Setelah benar rapi dan siap, ia kembali menuju ruangan VIP dibagian atas. Begitu sampai pria pemilik tempat yang sejak tadi menemani mengangkat tinggi gelas, mencoba menawarkan kembali. Suho hanya tersenyum menolak. Mau jadi apa perutnya jika kembali meminum minuman laknat itu.

Ia duduk ditengah sofa dan membuka sebotol air mineral, kemudian menenggak hingga setengah. Pria diseberangnya hanya terkekeh.

"Masih tak berubah ternyata?"

"Begitulah."

"Tapi kau baik-baik saja kan? Wajahmu menyeramkan."

"Tentu baik. Hanya sedikit demam, jangan khawatir."

Pria itu mengangguk dan kembali menenggak minumannya. Begitu habis ia menyodorkan selembar kertas kehadapan Suho. Ia pun menerima dengan senang hati.

"Akan segera ku transfer. Maaf jadi merepotkanmu."

"Tak masalah, lagi pula aku juga kesal dengan tingkahnya. Wanita itu adalah milikku yang terbaik tapi ia merusaknya. Dia sering mengacau disini. Ya walaupun uang yg ia berikan tak tanggung-tanggung."

"Maaf ia sering merepotkan mu."

"Tak masalah, lagi pula jumlahnya tak sedikit." Pria itu tersenyum licik. Suho kembali tersenyum dan memastikan kertas itu sudah tersimpan dalam saku.

"Baiklah, aku pergi dulu hyung."

"Ok, hati-hati dijalan. Apa aku perlu menyuruh supir mengantarmu?"

"Tidak usah. Aku akan naik taxi.", jawab Suho tanpa berbalik.

Ia menyusuri lorong-lorong yang penuh dengan teriakan atau tawa orang-orang mabuk. Di lantai dansa banyak pria dan wanita yang terus bergerak mengikuti irama seperti orang gila. Suho hanya menatap miris kearah mereka.

Begitu sampai di luar ia segera menghentikan taxi dan pergi bersamanya. Dari balik kaca ia menatap sekilas club terbesar dan ter-elit di gangnam kemudian kembali menghadap depan.

Beruntung ia mengenal pemiliknya. Kerabat dari teman masa sekolah.

Ia mengeluarkan secarik kertas berharga yang baru diperoleh. Dirapalnya tulisan yang tertera dan kembali menyimpannya dengan baik.

II. Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang