Dua Puluh Satu

586 71 34
                                    

Suho masih terdiam dengan menatap kedua kakinya yang terbalut dengan sepatu. Sejak satu jam yang lalu semua orang terlihat sibuk, keluar masuk kamar perawatan. Sedangkan sang pemilik tak ada minat sedikit pun. Ia mendongak begitu mendengar ketukan kayu yang beradu dengan lantai.

Suho mengulas sedikit senyum, "Kakek."

"Ayo, penerbanganmu satu jam lagi."

Lelaki tua itu menjulurkan sebelah tangan yang bebas dan memapah Suho. Demi apapun tubuh tuanya masih sangat gagah. Suara tegasnya tak terbantahkan.

Ia memapah Suho menuju kursi roda namun segera ditolak oleh sang cucu. "Aku bisa berjalan, kek. Kakiku baik-baik saja."

"Jangan menentangku, Joon!"

"Ku mohon. Kali ini saja."

Sang Kakek menghela nafas kasar dan menyetujui. Ia memerintahkan bawahannya untuk memapah Suho.

Perlahan namun pasti, Suho dapat mendengar bisikan-bisikan dan orang sekitar yang menatap kearahnya. Samar-samar juga ia mendengar kerumunan orang. Dapat dipastikan jika itu adalah para wartawan.

Suho memejamkan mata sejenak, menghirup udara yang membuat paru-parunya terasa sesak. Satu helaan nafas dilakukan. Ia belum siap. Sungguh.

Lagi-lagi keringat dingin mengalir disekujur tubuh. Ia dapat merasakan aura dingin yang menguar begitu kuat. Netranya menatap takut kesekitar. Jantungnya pun berdebar kencang. Suho mengepalkan tangan dengan kuat. Ini rasanya lebih menakutkan dibandingkan saat pertama kali ia debut.

"SUHO, MOHON BERIKAN PERNYATAAN TERKAIT PENGUNDURAN DIRIMU!", satu teriakan wartawan terlontar begitu saja bahkan saat Suho baru selangkah dari lift.

Ia menunduk semakin dalam, menyembunyikan wajah dibalik jaket tebal yang digunakan. Didepannya sang kakek berdiri gagah menerima kilatan kamera.

Seperti adegan dalam drama, kerumunan wartawan yang mulai berbondong-bondong mendekat kearahnya perlahan teratur. Para pengawal mulai membentuk jalan untuk tuannya. Beberapa bahkan menyingkirkan kamera yang terus memotret kearah tuan besarnya.

Kedua kaki Suho rasanya melemas. Bukan karena rasa sakit yang kembali datang. Ini tentang rasa takut yang teramat, bahkan tubuhnya mulai bergetar hebat. Sang pengawal semakin merapatkan diri pada Suho, sadar jika tuannya mulai tak sanggup.

"Anda pasti bisa, tuan.", ia berbisik tepat ditelinga Suho.

Suho semakin mengeratkan tangan pada sang pengawal. Kepalanya terasa pusing hanya karena melihat kerumunan orang. Deja vu. Ia kembali mengingat kejadian tempo hari, saat Lay keluar dari grup.

Ia menghela nafas lemah bersamaan dengan tubuhnya yang terasa lunglai. Sang pengawal segera merengkuh erat, membuat kedua kakinya kembali berpijak lemah.

Kilat cahaya saling bersautan seperti kembang api, gumaman yang terdengar keras dan kumpulan orang yang semakin banyak. Semuanya berputar di kepala Suho. Hanya dengung tak jelas yang terus ia dengar. Kepalanya terasa penuh sesak. Ia bahkan ketakutan saat dikeramaian.

Para pengawal terus bersautan meminta para wartawan untuk menyingkir dan memberi jalan. Puluhan pertanyaan terus terlontar saat Suho bahkan tak tahu jawabannya.

Samar-samar ia melihat cahaya luar dalam pandangannya yang berkunang-kunang. Ia juga melihat potret yang sangat dikenal, berdiri tepat di depan pintu masuk. Suho tak dapat melihat jelas namun samar ia melihat raut wajah menegang disana.

Sang kakek yang berjalan didepannya berhenti sejenak, menatap seorang pria asing dengan rambut hitam dan pakaian berantakan. Ia menatap tajam kearah lawan. Tentu ia tahu betul siapa pria itu, dengan berani menghadang jalannya untuk kedua kalinya. "Ada perlu apa lagi?"

II. Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang