Dua Puluh Tujuh

589 68 32
                                    

Suho berjongkok dan memeluk kedua lutut. Disembunyikannya wajah yang memucat dengan gemertuk gigi yang terdengar keras. Degup jantungnya masih berdetak tak karuan. Ia gugup dan takut. Semua terlalu mendadak.

Ragu-ragu orang itu mendekat, berjongkok dan menatap punggung yang bergetar. Tangan besar miliknya terulur, mengusap puncak kepala yang lebih tua. Sebisa mungkin ia menahan air mata yang berjatuhan. Semua rasa sakit dan kelegaan seperti membuncah dalam dada.

"Hyung.."

Tubuh itu semakin bergetar hebat. Terlihat menyedihkan dengan menampilan yang berantakan. Diam-diam ia kembali menyalahkan diri sendiri.

"Lihat aku, hyung!"

Seperti tuli, Suho bahkan tak merespon. Tubuhnya sibuk mengatur ketakutan dan rasa panik. Dadanya semakin terasa sakit dengan deru nafas yang terdengar keras. Pening dan bisikan ikut memenuhi isi kepala.

Tanpa ragu sang lawan mendekat dan memeluk tubuh sang kakak erat. Bisikan rasa syukur terus terucap bersama bulir air mata yang semakin banyak berjatuhan. Ia bahagia dan sedih dalam bersamaan.

"Maafkan aku."

"Silakan membenciku sebanyak mungkin."

Pelukannya menjadi lebih erat bersama dengan hujan yang semakin deras. Ketika Hujan dan air mata bercampur membasahi tanah, menciptakan genang bersama kenangan yang bercampur menjadi satu. Isakannya terdengar keras, ia tak ingin kalah dari apapun termasuk hujan.

.
.
.

Disinilah ia berdiri, bersandar pada dinding yang dingin. Ditatapnya lamat-lamat pintu bercat putih yang membisu. Lorong kosong menjadi temannya.

Ia menghela nafas sekali lagi. Tangannya mengusap titik-titik air hujan yang tertinggal pada wajah. Ia menyisir rambut hitam legamnya ke belakang hingga menampakan dahi yang membuatnya berkali lipat lebih tampan. Bibir itu sedikit memucat karena suhu udara dingin ditambah pakaian yang basah.

Tak berselang lama pintu dihadapannya terbuka, menampakan beberapa orang dengan wajah serius. Ia mengenal dua wajah diantaranya yaitu Tuan dan Nyonya Kim. Ditariknya sudut bibir dan tak lupa membungkuk sopan.

Tuan Kim mendekat dan menepuk pundak itu pelan. "Gantilah pakaianmu. Kau bisa sakit."

"Tidak terima kasih, Tuan."

"Panggil kami seperti dulu."

Tepat saat itu air mata yang sebelumnya telah terbingkai kembali tumpah. Ia terisak kuat begitu mendengar ucapan itu. Dirinya merasa tak pantas setelah semua yang telah ia lakukan.

Nyonya Kim mengusap punggup tegap dihadapannya. "Berhenti menangis, Sehun!"

"Eommoni, maafkan aku."

"Tidak ada yang perlu disalahkan. Kau tidak bersalah, Sehun."

Sehun hanya mampu terisak keras. Satu beban dalam hatinya seperi terangkat. Kepalanya menjadi sedikit lebih ringan.

"Masuklah jika kau ingin."

"Bolehkah?"

Tuan Kim mengangguk dan kembali menepuk pundak itu. "Masuklah, kami akan menemui dokter."

II. Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang