Sepuluh

723 80 52
                                    

Saat langit menjadi gelap. Jutaan bintang dan rembulan yang tampak indah bersinar di singgah sananya.

Hening malam, dingin, dan kering sebagai pelengkap kesunyian.

Milyaran manusia sibuk dengan dunia. Hingar bingar lampu kota seolah mampu mengalahkan cahaya indah di langit sana.

Bintang pun meredup.
Bahkan cahayanya tak sampai pada mata ini.

Mungkin ia lelah.
Terlalu lama baginya untuk bersinar.

Atau mungkin ia marah.

Marah akan keadaan yang memaksanya untuk meredup.

Kecewa akan diri yang mampu dengan mudah terkalahkan oleh jutaan ego manusia.


Derap langkah kaki itu. Pelu yang terus mengalir deras. Deru nafas yang saling memburu. Bahkan kebahagiaan yang seolah mati.

Ia tak peduli. Berkali-kali ia menabrak orang yang terus berlalu lalang.

Pikirannya terlalu kalut. Hanya ada satu wajah yang selalu muncul di kepalanya.

Mungkin otaknya terlalu bodoh, berlarian dengan jarak yang terbilang jauh. Meninggalkan mobilnya ditengah kemacetan kota. Bahkan tak menghiraukan semua perkataan orang yang mencacinya sepanjang jalan.

Jam menunjukan pukul delapan malam. Berarti ia sudah berlari selama hampir tiga puluh menit.

Kakinya mulai terasa kebas.
Langkahnya melambat seiring dengan tujuan yang semakin dekat. Perlahan diatur deru nafas yang terdengar keras. Tak lupa diusap pelu yang membasahi paras tampannya.

Saat beberapa langkah tersisa ia berhenti sejenak. Mungkin sudah kesekian kalinya ia melihat pemandangan menyedihkan ini.

Namun entah mengapa masih terasa sakit, bahkan semakin sakit. Perlahan ia kembali mendekat. Dipasangnya senyum simpul di bibir itu.

"Eomma..Appa.."

Keduanya pun balas tersenyum. Sebuah pelukan hangat yang menjadi penyejuk hatinya dalam sejenak.

"Kau berlari kesini?"

Ia hanya mengangguk. Tangan wanita yang sedikit keriput itu pun mengelus rahang tegasnya.

"Tak perlu berlari, semua baik-baik saja."

Wajah cantik yang tak lagi muda itu tampak lelah. Kesedihan dan putus asa terpancar sangat jelas.

Ia balas tersenyum. Ia tahu dan sangat tahu jika senyuman itu hanya sebuah topeng. Entah sudah kesekian kalinya mereka terus memasang topeng itu.

"Bagaimana keadaannya?"

"Ia baik-baik saja. Kita tahu jika ia anak yang kuat bukan?"

Dielusnya punggung tangan pemuda dihadapannya itu. Senyum teduh itu semakin lebar kala ia melihat setetes air mata lolos dari wajah dihadapannya.

"Kenapa kau menangis?"

Sebuah usakan lembut bermain diatas kepala Dong Kyu. Ia semakin keras terisak. Kedua orang tuanya semakin mengeratkan pelukan, menenggelamkan wajah sang anak diantara kesedihan mereka.

"Bagaimana bisa?"

"Maaf eomma yang salah. Tidak seharusnya ia bersama mereka."

"Mereka? Katakan padaku siapa?"

Sorot mata Dong Kyu menajam. Rahang itu semakin menegas.

"Sudah tidak usah dibahas. Kau istirahatlah dulu."

Tuan Kim menarik tangan anaknya dan membawa menuju sofa. Sebotol air minum disodohkan dan dengan cepat disambar.

Ketiganya kembali diam. Nyonya Kim masih setia disamping brankar. Tangannya tak pernah henti untuk mengelus punggung tangan Suho yang bebas. Sesekali ia mengusap air matanya yang kembali jatuh.

II. Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang