Dua Puluh Empat

616 70 55
                                    

Kota Hamburg dengan segala pesona yang tak habis. Setiap sudut kota dipenuhi dengan belbagai ornamen cantik khas Eropa. Bagunan megah yang tertimpa sorot lampu keemasan. Deretan rumah tudor yang tampak serasi dengan kemajuan ibukota.

Sore ini salju masih turun walau tak selebat kemarin. Awan kelabu bergelayut manja pada langit yang memutih. Matahari bahkan enggan untuk muncul dibalik gumpalan kapas itu.

Kepulan asap muncul setiap ia bernafas. Kedua tangannya mulai terasa beku. Ujung-ujung jarinya bahkan sudah terasa kebas. Bibir mungil itu mulai membiru karena tak kuat menahan suhu yang bahkan hanya delapan derajat.

Suho masih berusaha menghangatkan tubuh. Ia terus menggosok kedua telapak atau bahkan sesekali menghebuskan nafas tepat dikedua telapak. Syal berbahan wool miliknya terus dibiarkan memeluk lehernya erat.

Dari kejauhan Pengawal Lee mengawasi tuannya yang sedang duduk di bangku kayu oak. Ditangannya terdapat sebuah mantel tebal milik Suho.

Pengawal Lee mengetuk kedua ujung sepatu pada semen, tak tahan karena udara dingin yang menusuk. Diliriknya jam pada pergelangan tangan, sudah satu jam. Dengan rasa khawatir ia mendekat kearah Suho dan membungkus tubuh mungil itu dengan mantel tebal.

Suho tersentak kaget, namun setelahnya tersenyum. "Terima kasih."

"Bukan masalah tuan.", ia membungkuk sopan dan berdiri tepat dibelakang punggung Suho.
"Sudah satu jam kita disini. Sebaiknya anda masuk, tuan. Udara dingin tidak bagus untuk kesehatan."

"Lima menit lagi. Apa ibu sudah pulang?"

"Nyonya akan kembali selepas terbenamnya mentari."

Suho mendengus mendengar jawaban itu. Terdengar lucu dengan wajah serius pengawalnya.

"Tuan."

"Baiklah baiklah." Suho berjalan memasuki rumah. Jika sudah dipanggil dengan nada itu maka artinya tidak ada bantahan.

Begitu sampai di ruang keluarga ia segera mengambil duduk didepan perapian. Kedua telapaknya menghadap kayu-kayu oak yang terbakar. Ia tersenyum kecil.

Sudah dua hari ini ia diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit. Artinya tak ada lagi aroma obat yang begitu kuat. Tidak ada ruangan putih dengan segala nuansa dingin didalamnya. Ia merasakan kebebasan disini.

Rumah besar bergaya tudor dengan aksen eropa klasik yang ketara, sangat identik dengan Jerman. Di bagian depan dan belakang rumah terdapat taman dengan pepohonan yang meranggas. Tak lupa terdapat kolam kecil dengan bunga teratai yang menguncup.

Suho suka dengan setiap sudut rumah ini. Rasanya seperti berada di mansion sang kakek. Sangat tenang dan sangat cocok untuk menyembuhkan jiwanya yang hancur.

Akhir-akhir ini ia berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri. Meskipun berat tapi ia berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri. Terlalu lama terpuruk, hingga membuat kesehatannya menurun drastis.

Tapi apakah kalian percaya jika seorang Kim Joon Myeon memaafkan dirinya sendiri?

Bohong jika ia tak merasakan sakit. Bahkan setiap malam begitu mentari menjelang ia baru akan jatuh tertidur dan mimpi buruk itu terus datang. Raut kecewa, amarah, putus asa dan benci begitu terpancar kuat.

II. Walk On MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang