Satu hal yang membuatku ngeri adalah kesendirian. Sepi sendiri itu mengerikan ternyata. Maksudku, ternyata, ditinggalkan itu tidak menyenangkan. Tidak sibuk berkegiatan, hanya menulis dan menulis tapi tidak laku. Aku sempat berpikir, harus seperti apa ya hidup ini?
Seorang sahabat baik memberikan kabar baik. Dia benteng terakhir. Kupikir jalan hidup kita mirip. Maksudku, saling menguatkan di satu kota, bisa bertemu terus di akhir pekan atau akhir bulan. Sekedar berbincang, minum es kopi kekinian dan ya, ngobrol tidak tentu arah.
Ternyata, rezki itu berbeda. Tidak tertebak dan mengerikan arahnya.
Tentu kabar baik harus disambut. Rencanyanya dia akan pergi ke tempat yang jauh, bekerja di sana. Walau masih dalam tahapan bayang-bayang. Tapi hatiku berdebar. Cemas itu muncul seketika setelah fakta demi fakta terkuak. Aku ingin marah, tapi kenapa? Apa alasannya? Karena kegagalanku sendiri? Itu bodoh, kan?
Minggu ini, sudah hampir menuju akhir 2019. Ada sedih ternyata omonganku tak lebih dari sekedar omong kosong. Rencana hebat tahun lalu sekarang menjadi abu. Terbakar tak bersisa. Tidak ada lagi dunia yang indah soal kepenulisan.
Haruskah aku berhenti?
Ternyata ada baiknya memang memikirkan ulang. Kalau begini terus, gak bakal bisa ke mana-mana. Menulis fiksi sudah sejak 2017 tidak membuahkan hasil baik. Mungkin lebih baik kembali menulis non-fiksi. Lebih mudah. Ada referensinya, datanya, tinggal susun dan jual saja. Menulis fiksi rumitnya tingkat tinggi. Kesukaan dan kesenangan pembaca berbeda. Tidak mencari fakta tapi mencari rasa. Karyaku mungkin pahit di lidah mereka.
Berhenti sajakah?
CPNS ini mungkin yang ingin kuikuti terakhir kali. Sisanya bekerja seadanya saja untuk hidup. Menulis mungkin kukesampingkan dulu. Toh, menulis bisa bertahun-tahun kemudian. Yang terpenting tidak melupakan membaca. Asupan gizi itu tidak boleh hilang sedikit pun. Agar otak ini tetap waras. Terjaga dari kekecawaan tentang dunia. Kekecewaan tentang bodohnya diri mengalahkan kemasalan dan kemalangan.
Sambat hari minggu ini penuh cemas dan berdebar. Semoga bukan serangan awal kemiringan akal. Semoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seribu Sambat
Non-FictionIni adalah cerita setiap bab berbeda. Tentang sambatku akan dunia dan juga opini hal lainnya juga. Semua yang kutulis bisa benar bisa salah. Jadi mohon dimaklumi. Apalagi ini non-fiksi berdasarkan penulis sendiri tanpa riset apa pun. Namanya juga sa...