Sesal di Penghujung Usia

11 1 0
                                    

Aku akhirnya bertanya-tanya, setelah mengabaikan sosoknya mondar-mandir saat aku makan. Keramahannya, senyumnya padaku, dan kubalas hal yang sama. Tapi sesekali dia protes, memaki, walau tanpa tenaga. Kepala bagian depannya botak, rambutnya putih, tubuhnya kurus, dan keriput di sekujur tubuhnya.

Tidak jarang dia kelihatan bingung.

Aku punya langganan makan di Jogja, dekat kos, burjo. Kami memanggilnya begitu untuk warung khas kuningan yang menjual indomie instan. Karena tidak ingin membahas itu, aku lebih membahas soal kakek yang sering mondar-mandir di depan burjo. Tidak kenal waktu, baik pagi sekitar jam delapan, lalu sore dan malam. Memang sih, rumahnya tepat persis di samping warung itu. Tapi gelagatnya aneh.

Aneh seperti mereka yang hidupnya bingung mau ke mana. Atau sebenarnya mau mengerjakan banyak hal tapi tidak punya tenaga lagi. Waktu tidak lagi mencukupi karena tubuhnya sudah tua dan sulit untuk mengendalikannya seperti kemauannya. Dia beberapa kali membeli di warung burjo, mengobrol sebentar dengan pegawainya yang usianya masih jauh lebih muda di bawah usiaku.

Dan malam itu berbeda dari malam lainnya. Gerobak angkringan muncul di depan rumahnya. Ia sempat buka beberapa hari, lalu tutup dan kemudian tidak berjualan sama sekali.

Aku kepikiran soal sesal di usia tua itu. Gelagat kakek itu persis seperti yang ada di bayanganku. Kegagalan fatal dan besar hanya muncul di usia tua setelah tidak bisa apa-apa. Lalu bingung ke sana ke mari tanpa tujuan yang jelas. Lebih sering raut wajahnya kecewa. Kalau orang pada umumnya bilang, pasti dia stres. Kalau aku menganggapnya ya, kegagalan masa muda itu membuatnya jadi seperti sekarang.

Aku tidak bertanya lebih lanjut soal gagalnya. Mungkin saja dia berbohong nantinya. Sekedar untuk membanggakan diri saat dia masih muda. Tapi polanya sama persis. Biasanya mereka menyia-nyiakan waktu semasa muda, atau memang mereka mengejar dunia yang tidak selaras dengan hatinya.

Hal ini sempat menghampiriku. Apa kupikir lebih baik berhenti menulis saja ya? Lalu apa? Bekerja hanya untuk uang? Aku takutnya itu. Ada sesal di usia tua kelak. Setelah berusaha mengejar dunia, uang, harta, mobil, rumah, jalan-jalan, lalu menyesal di usia tua. Yang ada hanya berandai-andai sampai gila.

"Seandainya, sewaktu masih muda, terus nulis. Pasti sekarang..."

Duh, pikiran itu tidak pernah ingin ada dan masuk mendekam di kepalaku. Ya, sekali lagi soal passion. Basi memang passion itu. Tapi itulah fakta yang benar adanya. Kita inginnya sih bahagia dan kaya raya. Tapi nyatanya tidak bisa. Kaya tidak bisa kita kontrol sepenuhnya. Hanya ada segilintir saja yang berhasil meraihnya. Tapi bahagia, semua orang bisa mencapainya. Jadi, sambat di postingan kali ini adalah, tetaplah bahagia walau hartamu belum juga ada di tangan.

Jangan sampai seperti kakek itu. Kaya pun tidak, bahagia juga tidak tampak dari tatapan matanya. Aku ikut prihatin.

Seribu SambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang