XLIII : Tak Seimbang

859 78 4
                                    

"Bun, Abhinaya uda kenyang."

Abhinaya membuang muka dari ibunya yang masih berusaha mati-matian untuk membuat Abi gendut dalam semalam.

"Tapi ini dikit lagi, Bi." Deliana kembali menyodorkan sendok berisi bubur ayam di depan mulut Abi. "Obatnya harus diminum setelah kamu makan."

"Abi gak sakit, bun." Abhinaya berkeras. "Abi gak perlu minum obat. Abhinaya mau pulang."

"Abhinaya__" Deliana memandang putranya dengan wajah minta tolong.

Abhinaya lalu mengambil dan menggenggam tangan ibunya yang masih terulur kepadanya, meletakkan sendok berisi suapan bubur ayam kemangkok, lalu mengambil alih mangkok itu dan meletakkannya dinakas.

Sejenak tidak ada yang dikatakan lelaki itu, Abhinaya hanya menggenggam tangan bundanya dan memandang mata wanita setengah baya yang jelas sekali khawatir padanya. Dengan panik bunda dan ayah sambungnya langsung melarikan Abhinaya kerumah sakit karena lelaki itu pingsan dan tidak terbangun setelah setengah jam lebih.

Abhinaya jelas sekali shock, batinnya tidak sanggup menerima semua informasi itu secara tiba-tiba. Namun kini setelah Abhinaya siuman tiga jam yang lalu dan dokter tidak mengatakan ada yang berbahaya dari kondisi Abi, Deliana baru bisa bernafas lega. Tapi sepertinya wanita itu jadi dengan sangat bersemangat berusaha membuat Abhinaya gendut dengan menyodorinya makanan.

"Bun__"

"Sudah." Bunda memotong. "Jangan dibahas dulu."

Abhinaya benar-benar sangat terganggu dengan wajah sendu ibunya itu. Hatinya kini dipenuhi rasa malu dan sesal. Benar kata Bastian, Abhinaya terlalu keras kepala untuk sekedar duduk dan mendengarkan penjelasan ibunya. Abhinaya hanya terus mengikuti kemana emosi membawanya dan melupakan bahwa seorang ibu tidak mungkin melakukan sesuatu yang berbahaya untuk anaknya. Apalagi menyakiti anaknya dengan sengaja.

Paling tidak, Abhinaya tau bahwa bundanya tidak seperti itu.

Dan kini, setelah cerita itu dibuka selebar-lebarnya, Abhinaya benar-benar tidak tau harus bagaimana membalas dirinya sendiri, untuk semua sakit yang dengan sengaja dia torehkan pada wanita yang sangat berjasa melahirkannya itu.

"Abi boleh nanya satu hal, bun?"

Deliana menatap wajah putranya dan menghapus titik keringat dikening Abi dengan sayang. "Sudahlah nak, jangan diungkit lagi. Pelan-pelan saja ya, jangan sekaligus. Bunda gak mau kamu kenapa-kenapa."

"Abi gak papa bunda."

Tau bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan jika Abhinaya sudah berkeras, Deliana akhirnya pasrah.
"Apa lagi yang mau kamu tau?"

"Kenapa bunda terlambat mengatakan ini semua ke Abi?" Abhinaya bertanya dengan hati sedih. "Kenapa menyimpan ini semua dan membiarkan Abhinaya terus-terusan nyalahin bunda?"

Ketika bundanya tetap diam, Abhinaya kembali bertanya. "Bun, Abi berhak tau. Abhinaya uda dewasa, jangan biarin Abhinaya salah sangka terus ke bunda."

"Bunda takut kamu jadi membenci ayahmu."

Abhinaya tidak mengerti. Jawaban itu anehnya tidak bisa Abi cerna. Bahkan Abhinaya tidak bisa sedikitpun menangkap apa maksud ibunya.
"Abhinaya gak ngerti maksud bunda."

Adel memandang sebentar putranya dengan gamang, wanita itu lalu menghela napas dan akhirnya berbicara setelah diam beberapa menit.

"Bunda tau kamu sangat sayang sama bunda." Wanita itu memulai. "Ayahmu yang menanamkan itu bahkan sejak kamu masih dalam perut bunda. Ayahmu selalu menyapa kamu setiap pagi waktu bunda masih hamil kamu, Bi. Ayahmu selalu bilang, apapun jadinya kamu dimasa depan, cuma satu pesan ayah, sayangi bundamu, jaga bundamu untuk ayah."

Another Love For Another CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang